BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Menurut M. Arifin Pesantren memiliki arti sebagai suatu lembaga
pendidikan agama Islam yang tumbuh serta diakui masyarakat sekitar, dengan
sistem asrama (komplek) di mana santri-santri menerima pendidikan agama melalui
sistem pengajian atau madrasah yang sepenuhnya di bawah kedaulatan dari leadershipseorang
atau beberapa orang kiai dengan ciri-ciri khas yang bersifat kharismatik serta
independen dalam segala hal. Dari pengertian tersebut sudah jelas bahwa
pesantren itu suatu lembaga pendidikan Islam. Lembaga tidak lepas dari yang
kita sebut struktur organisasi. Dalam struktur organisasi akan ada
pembagian-pembagian tugas dan suatu jabatan pada orang-orang yang terpilih
untuk terlibat dalam mengurus suatu pesantren. Struktur organisasi ini di buat
untuk mempermudah dan mengefektifkan suatu tugas dalam mengelelola suatu
pesantren.
Struktur Organisasi pesantren sangat erat kaitannya dengan pemimpin
dan kepemimpinan di pesantren. Karena dalam struktur organisasi memiliki
pemimpin yang dijadikan pusat untuk memberikan intruksi kepada bawahannya.
Tentu semua itu tidak lepas dari pola-pola kepemimpinan dan tipe kepemimpinan
seorang pemimpinn dalam memimpin dan mengelola suatu pesantren. Pemimpin dalam
pesantren pun memiliki pola-pola yang berbeda dalam melakukan kepemimpinannya.
Dalam makalah ini akan dibahas mengenai Struktur organisasi di pesantren,
Pemimpin dan Kepemimpinan, Model atau Pola Kepemimpinan dan Tipe Kepemimpinan.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa
dan Bagaimana Struktur Organisasi di Pesantren?
2.
Siapa
Pemimpin di Pesantren dan apa itu kepemimpinan?
3.
Apa
saja model atau pola kepemimpinan dalam pesantren?
4.
Apa
saja tipe-tipe kepemimpinan pemimpin di pesantren?
C.
Tujuan Makalah
Tujuan dalam penulisan makalah ini adalah untuk menambah
pengetahuan serta memahami tentang Struktur Organisasi di pesantren, pemimpin
dan kepemimpinan, model kepemimpinan, dan tipe kepemimpinan. Adapun tujuan lain
yaitu untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Manajemen Pesantren.
Diharapkan makalah ini bermanfaat bagi pembacanya.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Struktur Organisasi
Sebelum definisi struktur organisasi lebih baik untuk mengetahui
dulu apa itu organisasi. Organisasi merupakan alat atau wadah yang statis.[1]
Selain itu ada pula definisi lain bahwa organisasi yaitu sekelompok orang (dua
atau lebih) yang secara formal dipersatukan dalam suatu kerjasama untuk
mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
Struktur organisasi adalah suatu susunan dan hubungan antara tiap
bagian serta posisi yang ada pada suatu organisasi dalam menjalankan kegiatan
operasional untuk mencapai tujuan yang diharapkan dan diinginkan. Struktur
organisasi menggambarkan jelas pemisahan kegiatan pekerjaan antara yang satu
dengan yang lain dan bagaimana hubungan aktivitas dan fungsi dibatasi. Dalam
struktur organisasi baik harus menjelaskan hubungan wewenang siapa melapor
kepada siapa, jadi ada satu pertanggungjawaban apa yang akan dikerjakan. [2]
Struktur Organisasi dalam pesantren sudah pasti berbeda-beda
bentuknya karena setiap pesantren memiliki perbedaan dalam kepemimpinan dan
kepengurusan sesuai kebutuhan pesantren tersebut, karena itu disini kami akan
memberikan serta menjelaskan pembagian/ struktur organisasi dari salah satu
contoh pesantren. Pembagian struktur organisasi tersebut antara lain sebagai
berikut:
1.
Majelis Pengasuh/Dewan Pembina/Kyai
Pengasuh adalah pimpinan tertinggi yang memegang wewenang penuh di
Pondok pesantren.[3] Kewenangan
tersebut diantaranya adalah mengangkat dan memeberhentikan ketua umu Yayasan,
menentukan arah kebijakan pondok pesantren ke dalam dan ke luar, memberikan
legalisasi terhadap semua kebijakan-kebijakan yang diambil oleh pengurus
harian.
2.
Dewan Pengawas
Dewan pengawas adalah sebuah badan yang berfungsi sebagai pendamping
Majelis pengasuh dalam hal memberikan masukan dan melakukan pengawasan terhadap
kebijakan, kinerja, dan pelaksanaan program-program yayasan.
3.
Pengurus Harian
Pengurus adalah pelaksana harian seluruh program-program yayasna
yang telah digariskan sekaligus penanggungjawab seluruh kebijakan-kebijakan
yang diambil. Pada setiap periode pengurusnya terdiri dari 9 orang dengan
struktur organisasi Ketua Umum, Ketua I dan Ketua II, Sekretaris Umum,
Skeretaris I dan Sekretaris II, Bendahara Umum, Bendahara I dan Bendahara II.
Dalam tatanan operasinya ketua umum dengan dibantu oleh Sekretaris
Umum berfungsi sebagai Top Leader, yang bertanggung jawab terhadap semua
kebijakan dan program Departemen Pendidikan, Departemen HUMASY, Departemen
KAMTIB, dan Departemen Infokom.
Sedangkan sekretaris II dengan dibantu oleh Sekretaris II
bertanggung jawab terhadap kebijakan dan program Depertemen Wirus, Departemen
Sarana Prasarana dan Departemen Layanan Kesehatan dan Olahraga, Departemen
Penelola Aset, Departemen Ekonomi dan Koperasi.
4.
Pengurus Bidang/Departemen
Pengurus departemen adalah ujung tombak bagi perkembangan yayasan.
Selain sebagai pelaksana program yang telah digariskan, pengurus Departemen
juga dituntut berkreatifitas dengan daya inovasi yang tinggi guna menentukan
berbagai program dan kebijakan yang diharapkan mampu melahirkan terobosan baru
bagi pengembangan dan kemajuan masing-masing bidang.dan pengurus departemen ada
9 yang telah disebutkan pada poin ke tiga.
B.
Pemimpin dan Kepemimpinan
Menurut Miftah Thoha dalam bukunya Prilaku Organisasi bahwa
pemimpin adalah seseorang yang memiliki
kemampuan memimpin, artinya memiliki kemampuan untuk mempengaruhi orang
lain atau kelompok tanpa mengindahkan bentuk alasannya.[4]
Sedangkan menurut Fiedler (1976:8) lebih melihat pemimpin sebagai individu
dalam kelompok yang diberi tugas untuk mengarahkan dan mengkoordinasikan
aktifitas-aktifitas kelompok yang terkait dengan tugas.[5]
Pemimpin adalah seseorang atau kelompok orang yang melaksanakan peran
kepemimpinan antara lain sebagai eksekutif, administator, penengah, penganjur,
ahli. Atau kepala, komandan, ketua dan lain sebagainya yang selalu tanggap,
tampil berani, memiliki inisiatif serta kemampuan untuk memperngaruhi orang
lain dan atau suatu kelompok dalam upaya mencapai tujuan lembaga atau tujuan
organisasi yang dipimpinnya.[6]
Kepemimpinan menurut Harsey dan Blanchard adalah “A leadership
is any time one attempts to impact the behavior of and an individual or group
regardless of the reason. It may be for one’s own goals or afriend’s goals, and
they may or not be coungruent with organizational goals”. Maksudnya
kepemimpinan adalah setiap upaya
seseorang, atau perilaku kelompok yang bertindak dalam suatu manajemen. Upaya mempengaruhi ini bertujuan untuk mencapai tujuan perorangan, baik tujuan sendiri maupun tujuan orang lain. Tujuan individual tersebut mungkin sama, atau mungkin pula berbeda dengan tujuan organisasi.[7]
seseorang, atau perilaku kelompok yang bertindak dalam suatu manajemen. Upaya mempengaruhi ini bertujuan untuk mencapai tujuan perorangan, baik tujuan sendiri maupun tujuan orang lain. Tujuan individual tersebut mungkin sama, atau mungkin pula berbeda dengan tujuan organisasi.[7]
Selanjutnya kepemimpinan berasal dari kata pimpin yang berarti
bimbing dan tuntun, misalnya orang buta datang dipimpin. Maksudnya orang buta
datang dituntun. Selain itu pimpin juga berarti menunjukan jalan, mengetuai
atau mengepalai (rapat, perserikatan dan sebagainya) serta melatih (mendidik,
mengajari dan sebagainya) supaya akhirnya dapat mengerjakan sendiri.
Selanjutnya kosa kata pimpin mendapatkan awal ke dan akhiran an, sehingga
menjadi kepemimpinan. Namun di dalam Kamus Bahasa Indonesia kata pimpinan
tersebut tidak dikembangkan menjadi kata kepemimpinan, sehingga tidak ada
penjelasannya. Kata kepemimpinan selanjutnya merupakan terjemahan dari kosakata
bahasa Inggris, leadership. Dalam bahasa Arab kosakata yang dekat dengan
kosakata kepemimpinan adalah al-imamiyah, ra’iyah, sulthaniyah, al-khilafah dan
al-mulkiyah, yang secara harfiah berarti orang yang berada di barisan depan,
yang mengasuh, yang mengepalai, yang menjadi khalifah dan yang menjadi raja.[8]
Dalam dunia pesantren pemimpin atau yang memiliki kedudukan tertinggi
yaitu Kyai. Kyai merupakan elemen paling esensial dari suatu pesantren. Menurut
asal-usulnya, perkataan kyai dipakai untuk ketiga jenis gelar yang saling
berbeda:
1.
Sebagai
gelar kehormatan bagi batang-barang yang dianggap keramat; umpanya, “Kyai Garuda
Kencana” dipakai untuk sebutan Kereta Emas yang ada di Keraton Yogyakarta.
2.
Gelar
kehormatan untuk orang-orang tua pad aumumnya.
3.
Gelar
agama yang diberikan oleh masyarakat kepada seorang ahli agama Islam yang
memiliki atau menjadi pemimpin pesantren dan mengajarkan kitab-kitab Islam
klasik kepada para santrinya. Ia juga sering disebut seorang alim (orang yang
dalam pengetahuan Islamnya).[9]
Koentjaraningrat membedakan antara kepemimpinan sebagai kedudukan
dan kepemimpinan sebagai suatu proses sosial. Sebagai kedudukan, kepemimpinan
merupakan suatu kompleks dari hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang dapat
dimiliki oleh seseorang atau suatu badan. Sebagai suatu proses sosial,
kepemimpinan meliputi segala tindakan yang dilakukan seseorang atau suatu badan
yang menyebabkan gerak dari masyarakat.
Kepemimpinan menurut agama (Islam) memiliki ragam istilah. Ada yang
menyebutkan Imamah, dan ada Khilafah. Masing-masing kelompok Islam memiliki
pendefinisian berbeda satu sama lain. Menurut Kaum Sunni, Imamah disebut juga
Khilafah. Sebab orang yang menjadi Khilafah adalah penguasa tertinggi bagi umat
Islam yang menggantikan Rasul SAW. Khilafah juga disebut sebagai Imam
(pemimpin) yang wajib ditaati.[10]
Dahulu orang memandang seorang yang pandai di bidang agama Islam
baru layak disebut kyai bila ia mengasuh atau memimpin pesantren. Sekarang
meskipun tidak memimpin pesantren, bila ia memiliki keunggulan dalam menguasai
ajaran-ajaran Islam dan amalan-amalan ibadah sehingga memiliki pengaruh yang
besar di masyarakat, sering juga disebut kyai seperti Kyai Ali Yafie, Kyai
Abdul Muchtit Muzadi dan lain-lain. Hanya saja berkaitan dengan wacana politik
pendidikan pesantren yang sennatiasa dikendalikan kyai, maka pemakaian istilah
kyai dalam konteks ini lebih mengacu pada pemahaman lain yakni kyai sebagai
pemimpin pesantren, tetapi bukan hanya mengajarkan kitab-kitab islam klasik
semata seperti pemahaman awal tersebut, melainkan juga meliputi pengajaran
kitab-kitab modern atau kontemporer.[11]
Kyai adalah pemimpin nonformal sekaligus pemimpin spiritual dan
posisinya sangat dekat dengan kelompok-kelompok masyarakat lapisan bawah di
desa-desa. Sebagai pemimpin msayarakat
Kyai memiliki jema’ah, komonitas dan massa yang diikat oleh hubungan keguyuban
yang erat dan ikatan budaya paternalistik. [12]
Keberadaan seorang kiai sebagai pimpinan pesantren, ditinjau dari
tugas dan fungsinya mengandung fenomena yang unik. Dikatakan unik, karena kyai
sebagai seorang pemimpin di lembaga pendidikan Islam bertugas tidak hanya menyusun
program atau kurikulum, membuat peraturan, merancang sistem evaluasi, tetapi
juga bertugas sebagai pembina dan pendidik umat serta pemimpin umat (masyarakat).[13]
C.
Model atau Pola Kepemimpinan
Kosakata “pola” dalam bahasa Indonesia mengandung beberapa arti.
Pertama, pola berarti gambar yang dipakai untuk contoh batik; Kedua, pola
berarti corak batik atau tenun; suri; dan Ketiga, pola berarti potongan kertas
dan sebagainya yang dipakai untuk contoh membuat baju, dan sebagainya, pation,
model. Dalam bahasa Inggris, pola merupakan terjemahan dari kosakata “pattern”
yang berarti pola, mal, susunan gambar dan warna, pola, contoh, teladan.
Yang dimaksud dengan pola kepemimpinan pondok pesantren adalah
model, gambaran, ukuran, contoh atau teladan yang digunakan dalam mengarahkan,
mengolala, membina dan mengembangkan lembaga pendidikan keagamaan. Pola
kepemimpinan pondok pesantren ini selanjutnya digunakan sebagai acuan, pedoman,
pegangan dan rujukan dalam mengelola pesantren dalam rangka mencapai tujuanya,
yaitu menyebarkan ajaran Islam, menumbuhkan budaya dan tradisi Islam, serta
menghasilkan para ulama, serta tujuan lainnya sesuai dengan perkembangannya.
Pola kepemimpinan pondok pesantren ini selanjutnya memiliki ciri-ciri khusus
yang membedakannya dengan pola kepemimpinan pada lembaga pendidikan lainnya.
Nurcholish Madjid sebagaimana dikemukakan di atas, menemukan pola kepemimpinan
pesantren itu pada umumnya berada di tangan seorang kyai yang bersifat
kharismatik, individual dan religious feodalistik.
Mastuhu yang melakukan penelitian terhadap enam pesantren terbesar
di Jawa, yaitu Pesantren Modern Gontor, Pesantren Tebu Ireng, Pesantren
Pacitan, Pesantren Guluk-guluk, Pesantren Blok Agung dan Pesantren Sukorejo,
misalnya, mengemukakan dua pola kepemimpinan pondon pesantren, yaitu dari
kharismatik ke rasionalistik, dan dari Laissez-Faire ke Birokratik. Sedangkan
Nurcholish Madjid berdasarkan hasil pengamatannya terhadap pesantren di Jawa,
sebagaimana dikutip di atas menemukan tiga pola kepemimpinan pondok pesantren,
yaitu kharismatik, personal (individual), dan religio fedodalisme. Sementara
itu Kasful Anwar USU, yang melalukakan penelitian terhadap kepemimpinan kyai
pada tiga pesantren terbesar di Jambi, yaitu Pesantren Nurul Iman, Pesantren
As’ad dan Pesantren Karya Pembangunan al-Hidayah menyimpulkan adanya pola
kepemimpinan individual, kolektif pasif (pada Pesantren Nurul Iman dan Pesanten
As’ad), dan kepemimpinan birokratik (pada Pesantren Karya Pembangunan
al-Hidayah). Dengan demikian pola kepemimpinan pondok pesantren yang ada saat
ini adalah pola kepemimpinan individual, kharismatik, religio feodalistik; pola
kepemimpinan kolektif passif; Laissez-Faire, dan pola kepemimpinan birokratik.
Keempat pola kepemimpinan pondok pesantren ini secara singkat dapat dikemukakan
sebagai berikut:
1.
Pola Kepemimpinan Individual, Kharismatik, Religio Feodalistik
Menurut Mastuhu, bahwa yang dimaksud dengan kepemimpinan
kharismatik adalah kepemimpinan yang bersandar kepada kepercayaan santri atau
masyarakat umum sebagai jama’ah, bahwa kiai yang merupakan pemimpin pesantren
mempunyai kekuasaan yang berasal dari Tuhan. Kiai pesantren dalam NU memiliki
kedudukan yang sentral, baik sebagai pendiri, pemimpin dan pengendali
organisasi, maupun sebagai panutan kaum nahdiyyin. Di antara contoh kharismatik
misalnya, rata-rata setiap hari orang tamu yang berkunjung kepada kiai, apakah
itu secara individual atau kolektif baik pejabat maupun masyarakat biasa,
terutama warga NU dari berbagai cabang atau wilayah. Mereka datang untuk
berbagai macam keperluan, mulai dari silaturahmi sampai kepada keperluan
organisasi. Begitu besarnya kharisma kepemimpinan kiai, sampai-sampai pada
masalah yang mustahil dalam agama pun tidak ada orang yang berani
mempersoalkannya.
Selanjutnya, karena kepemimpinan kiai adalah kharismatik, maka
dengan sendirinya juga bersifat pribadi atau personal. Kenyataan itu mengandung
implikasi bahwa seorang kiai tak mungkin digantikan oleh orang lain serta sulit
ditundukan ke bawah “rule of the game”-nya administrasi dan menagemen modern.
2.
Pola Kepemimpinan Kolektif Passif
Menurut Kasyful Anwar US dapat diartikan sebagai proses
kepemimpinan kolaboratif yang saling menguntungkan, yang memungkinkan seluruh
elemen sebuah institusi turut ambil bagian dalam membangun sebuah kesepakatan yang
mengakomodasi tujuan semua. Kolaborasi dimaksud bukan hanya berarti “setiap
orang” dapat menyelesaikan tugasnya, melainkan yang terpenting adalah semua
dilakukan dalam suasana kebersamaan dan saling mendukung (al-jam’iyah
al-murassalah atau collegiality and supportiveness).
Model kepemimpinan kolektif atau bentuk Yayasan ini dinilai sebagai
salah satu solusi strategis, karena beban kiai menjadi lebih ringan, karena
ditangani bersama sesuai dengan tugas masing-masing. Kiai juga tidak terlalu
menanggung beban moral tentang kelanjutan pesantren di masa depan. Namun
demikian kolektifitas dan kolaborasi ini masih bersifat pasif, karena
kolektivitas kepemimpinan di pondok pesantren tersebut lebih didominasi kiai
sebagai pimpinan pesantren. Dengan kharisma yang dimilikinya, kiai mempunyai
wibawa luar biasa dan mempunyai pengaruh luas yang tidak dibatasi aturan-
aturan formal. Kiai mempunyai kemampuan untuk mengetahui, mempengaruhi dan
meyakinkan masyarakat.
3.
Pola Laissez Faire Pola kepemimpinan Laisses Faire
Menurut penelitian Mastuhu, dijumpai di Pondok Pesantren
Guluk-guluk, Madura. Pola kepemimpinan ini ditandai dengan hubungan kerja yang
dilandasi oleh tiga kata kunci: ikhlash, barokah, dan ibadah. Tatanan kerja
organisasinya kurang jelas, dan pembagian kerja antara unit-unit kerja tidak
dipisahkan secara tajam. Setiap pimpinan unit kerja tidak dipisahkan secara
tajam. Setiap pimpinan unit bebas berinisiatif dan bekerja untuk memajuan dan
kebaikan pesantren selama apa yang dilakukan tidak bertentangan dengan sunnah
pondok dan memperoleh restu kiai, setidaknya diperbolehkan, atau tidak dilarang
kiai, maka selama itu pula perkerjaan boleh diteruskan. Hal yang mirip ini juga
ditemukan di Pesantren Blok Agung di mana deskripsi tugas atau perbedaan peran
dan status antara unit-unit kerja, misalnya, tidak jelas, dan karena itu
tumpang tindih: peran dan status di antara mereka merupakan satu hal yang
biasa.
4.
Pola Kepemimpinan Birokratik Terbatas
Pola kepemimpinan pesantren yang birokratik pada dasarnya adalah
pola kepemimpinan yang merupakan kebalikan atau lawan dari pola kepemimpinan
Laissez-Faire sebagaimana disebutkan di atas. Pola kepemimpinan ini, menurut
Penelitian Mastuhu dijumpai pada Pondok Pesantren Sukorejo. Menurutnya, bahwa
pada umumnya, pembagian kerjad alam struktur organisasi lebih jelas dan resmi
daripada pembagian kerja pada unit-unit kerja di pesantren. Namun demikian
segala pembagian kerja yang relatif jelas dan resmi tetap ditentukan lebih
wibawa kiai yang sangat kuat. Selain itu pola kepemimpinan birokratik terbatas
ini juga ditemukan pada Pesantren Tebuireng. Dengan demikian, antara pola
kepemimpin kolektif pasif dan birokratik terbatas, pada dasarnya memiliki jiwa
yang sama, yaitu sama-sama dibatasi oleh wibawa dan kharismatik kiai.
Di Pondok Pesantren Tebu Ireng misalnya tampak ada kecenderungan,
bahwa kedudukan dewan kiai, sebagai penjaga kemurnian nilai agama, menjadi
bagian atau salah satu unit kerja kesatuan organisasi pengelolaan
penyelenggaraan pesantren, sehingga pusat kekuasaan sedikit terdistribusi di
kalangan elite pesantren dan tidak terlalu terpusat pada kiai. Sejalan dengan
itu, pembagian tugas di kalangan unit-unit kerja cenderung berubah menuju
pembagian kerja yang lebih rinci dan spesifik, menggunakan teknologi maju,
yakni bank dan komputer yang sudah digunakan sebagai sarana kerja. [14]
D.
Tipe-Tipe Kepemimpinan
Tipe Kepemimpinan sering disebut perilaku kepemimpinan atau gaya
kepemimpinan (leadership style). Miftah Toha (2003:49) mengemukakkan
bahwa kepemimpinan merupakan norma atau perilaku yang digunakan oleh seseorang
pada saat orang tersebut mencoba mempengaruhi perilaku orang lain. Oleh
karenanya usaha menyelaraskan persepsi di antara mempengaruhi dengan orang yang
perilakunya akan dipengaruhi menjadi amat penting. Duncan menyebutkan ada tiga
gaya kepemimpinan yaitu Otokrasi, demokrasi, dan gaya bebas (the laisses
faire).[15]
Tipe bisa diartikan juga sebagai jenis kepemimpinan, Em Nadjib
Hassan, dkk dalam penelitiannya menggambarkan bahwa jenis atau profil
kepemimpinan kiai di pesantren memiliki keunikan yang cukup bervariasi. Profil
kepemimpinan kiai dalam mengelola pesantren (secara khusus di Kudus) memiliki
kecenderungan sebagai berikut :
1.
Kiai
dengan profil kepemimpinan masyarakat (community leader) yaitu seorang
kiai yang dikenal kebesarannya, baik kebesaran pribadinya maupun pesantrennya,
karena sang kiai memiliki posisi atau jabatan dalam organisasi sosial
keagamaan, politik atau memiliki jabatan dalam kekuasaan tertentu.
2.
Kiai
berprofil kepemimpinan keilmuan (intellectual leader), yaitu seorang
kiai yang memiliki kebesaran pribadi dan pesantrennya karena sang kiai dianggap
memiliki keahlian ilmu secara mendalam yang dijadikan rujukan atau panutan
masyarakat dalam menyelesaikan persoalan. Bidang ilmu itu misalnya ilmu fikih,
ilmu hadist dan lain-lain.
3.
Kiai
berprofil kepemimpinan rohani (spiritual leader), yaitu kiai yang
kebesaran pribadi dan pesantrennya, karena sang kiai itu memiliki kemampuan
dalam urusan peribadatan (imam masjid), menjadi mursyid (guru) thariqah, dan
menjadi panutan moral keagamaan.
4.
Kiai
dengan profil kepemimpinan administratif (administrative leader), yaitu
kiai yang hanya berperan sebagai penanggung jawab, sedangkan pembinaan proses
pembelajaran pesantren diserahkan kepada seseorang yang dianggap memiliki
kualifikasi sesuai dengan visi dan misi pesantrennya.
5.
Kiai
dengan profil kepemimpinan emosional (emotional leader), yaitu kebesaran
kepemimpinan kiai yang lebih didasarkan pada ikatan nilai-nilai kebesaran
seorang kiai tertentu, contoh: KH. Turaichan Adjhuri merupakan salah satu kiai
besar di Kudus dan memiliki karakteristik sebagai pengasuh pesantren. Akan
tetapi kebesarannya lebih dikenal sebagai ahli ilmu falak terkemuka, baik di
tingkat lokal maupun nasional.
6.
Kiai
yang berprofil kepemimpinan ekonomi (economic leader), yaitu kiai yang
mengelola pesantren dengan cara melaksanakan program pemberdayaan potensi
ekonomi masyarakat dan para santrinya.
7.
Kiai
dengan profil kepemimpinan eksoteris (exoteris leader), yaitu kiai yang
mengelola pesantren dengan cara menonjolkan aspek formal yang dimiliki
pesantren.
Kiai memiliki peranan penting dalam perkembangan pesantren. Peranan
(role) adalah tingkah laku individu yang mementaskan suatu kedudukan tertentu
dalam hubungannya dengan individu-individu dalam kedudukan lain. Peranan
merupakan aspek dinamis dari kedudukan (status).[16]
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Struktur organisasi adalah suatu susunan dan hubungan antara tiap
bagian serta posisi yang ada pada suatu organisasi dalam menjalankan kegiatan
operasional untuk mencapai tujuan yang diharapkan dan diinginkan. Struktur
organisasi menggambarkan jelas pemisahan kegiatan pekerjaan antara yang satu
dengan yang lain dan bagaimana hubungan aktivitas dan fungsi dibatasi. Dalam
struktur organisasi baik harus menjelaskan hubungan wewenang siapa melapor
kepada siapa, jadi ada satu pertanggungjawaban apa yang akan dikerjakan.
Struktur organisasi di setiap pesantren memiliki bentuk yang berbeda sesuai
kebutuhan pesantren tersebut.
Koentjaraningrat membedakan antara kepemimpinan sebagai kedudukan
dan kepemimpinan sebagai suatu proses sosial. Sebagai kedudukan, kepemimpinan
merupakan suatu kompleks dari hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang dapat
dimiliki oleh seseorang atau suatu badan. Sebagai suatu proses sosial,
kepemimpinan meliputi segala tindakan yang dilakukan seseorang atau suatu badan
yang menyebabkan gerak dari masyarakat. Dalam hal ini pemimpin pesantren lebih
sering disebut kyai.
Kyai adalah pemimpin nonformal sekaligus pemimpin spiritual dan
posisinya sangat dekat dengan kelompok-kelompok masyarakat lapisan bawah di
desa-desa. Sebagai pemimpin msayarakat
Kyai memiliki jema’ah, komonitas dan massa yang diikat oleh hubungan keguyuban
yang erat dan ikatan budaya paternalistik.
Pola kepemimpinan pondok pesantren adalah model, gambaran, ukuran,
contoh atau teladan yang digunakan dalam mengarahkan, mengolala, membina dan
mengembangkan lembaga pendidikan keagamaan. Pola kepemimpinan pondok pesantren
yang ada saat ini adalah pola kepemimpinan individual, kharismatik, religio
feodalistik; pola kepemimpinan kolektif passif; Laissez-Faire, dan pola
kepemimpinan birokratik
Tipe bisa diartikan juga sebagai jenis kepemimpinan, Em Nadjib
Hassan, dkk dalam penelitiannya menggambarkan bahwa jenis atau profil,antara
lain yaitu Kiai yang berprofil kepemimpinan ekonomi (economic leader), Kiai
dengan profil kepemimpinan eksoteris (exoteris leader), Kiai berprofil
kepemimpinan keilmuan (intellectual leader), Kiai berprofil kepemimpinan
rohani (spiritual leader), Kiai dengan profil kepemimpinan administratif
(administrative leader), Kiai dengan profil kepemimpinan emosional (emotional
leader), Kiai dengan profil kepemimpinan masyarakat (community leader).
DAFTAR PUSTAKA
Aynul. “Leadership: Definisi Pemimpin” diakses dari
http://referensi-kepemimpinan.blogspot.in/2009/03/definisi-pemimpin.html?=1
tanggal 23 Februari 2015.
Badrudin. 2013. Dasar-Dasar Manajemen. Bandung: CV Alfabeta.
Dawan, Ainurrafiq dan Ta’arifin, Ahmad. 2005. Manajemen Madrasah Berbasis Pesantren.
Sapen: Listafariska Putra.
Dhofier, Zamakhsyari . 2011. Tradisi Pesantren Studi Pandangan Hidup
Kyai dan Visinya Mengenai Masa Depan Indonesia. Jakarta: LP3ES.
Dwitama, Rynaldi “Pengertian Struktur Organsasi”, diakses
dari
http://rynaldi-dwitama.blogspot.com/2012/05/pengertian-struktur-organisasi.html
tanggal 1 Maret 2015.
Kaimuddin, Andi. “Manajemen
dan Gaya Kepemimpinan Pesantren” diakses dari
https://ruanginstalasi.wordprrss.com/2012/09/19/manajemen-dan-gaya-kepemimpinan-pesantren/
tanggal 03 Maret 2015.
Masyhud, Sulthon dan Khusnurdilo. 2005. Manajemen Pondok
Pesantren. Jakarta: Diva Pustaka.
Nata, Abudin. “Transformasi
dan Pola Kepemimpinan Pondok Pesantren”, diakses dari
http://uinjkt.ac.id/index/php/detail/artikel/19/transformasi_dan_pola_kepemimpinan_pondok_pesantren.fdi tanggal 2 Maret 2015
Qomar, Mujamil. 2007. Pesantren dari Transformasi Metodologi
Menuju Demokratisasi Institusi. Jakarta: Penerbit Erlangga.
“Struktur Organisasi dan Pengurus”. diakses dadri
http://sidogiri.net/struktur/ tanggal 1 Maret 2015.
[1] Badrudin,
Dasar-Dasar Manajemen, (Bandung: CV Alfabeta, 2013) cet. I, hlm. 111.
[2] Rynaldi Dwitama, “Pengertian Struktur Organsasi”,
diakses dari http://rynaldi-dwitama.blogspot.com/2012/05/pengertian-struktur-organisasi.html pada tangga; 1 Maret 2015.
[3] “Struktur Organisasi dan Pengurus”, diakses dadri
http://sidogiri.net/struktur/ pada tanggal 1 Maret 2015.
[4] Aynul, “Leadership:
Definisi Pemimpin”, diakses dari http://referensi-kepemimpinan.blogspot.in/2009/03/definisi-pemimpin.html?=1 pada tanggal 23
Februari 2015.
[5] Sulthon
Masyhud dan Khusnurdilo, Manajemen Pondok Pesantren, (Jakarta: Diva
Pustaka, 2005), cet. II, hlm. 24.
[6] Ainurrafiq
Dawan dan Ahmad Ta’arifin, Manajemen Madrasah Berbasis Pesantren,
(Sapen, Listafariska Putra, 2005), cet. II, hlm. 70.
[7] Ibid,
hlm. 67.
[8] Abudin Nata, “Transformasi
dan Pola Kepemimpinan Pondok Pesantren”, diakses dari http://uinjkt.ac.id/index/php/detail/artikel/19/transformasi_dan_pola_kepemimpinan_pondok_pesantren.fdi pada tanggal 2
Maret 2015.
[9] Zamakhsyari
Dhofier, Tradisi Pesantren Studi Pandangan Hidup Kyai dan Visinya Mengenai
Masa Depan Indonesia, (Jakarta: LP3ES, 2011), cet. IX, hlm. 93.
[10] Andi
Kaimuddin, “Manajemen dan Gaya Kepemimpinan Pesantren” diakses dari https://ruanginstalasi.wordprrss.com/2012/09/19/manajemen-dan-gaya-kepemimpinan-pesantren/ pada
tanggal 03 Maret 2015.
[11] Mujamil Qomar,
Pesantren dari Transformasi Metodologi Menuju Demokratisasi Institusi,
(Jakarta: Penerbit Erlangga, 2007), cet. III, hal. 28.
[12] Ibid,
hlm. 29
[13] Andi
Kaimuddin, “Manajemen dan Gaya Kepemimpinan Pesantren” diakses dari
https://ruanginstalasi.wordprrss.com/2012/09/19/manajemen-dan-gaya-kepemimpinan-pesantren/
pada tanggal 03 Maret 2015.
[14] Abudin Nata, “Transformasi
dan Pola Kepemimpinan Pondok Pesantren”, diakses dari
http://uinjkt.ac.id/index/php/detail/artikel/19/transformasi_dan_pola_kepemimpinan_pondok_pesantren.fdi
pada tanggal 2 Maret 2015
[15] Badrudin, Dasar-Dasar
Manajemen, (Bandung: CV Alfabeta, 2013) cet. I, hlm. 176.
[16] Andi
Kaimuddin, “Manajemen dan Gaya Kepemimpinan Pesantren” diakses dari https://ruanginstalasi.wordprrss.com/2012/09/19/manajemen-dan-gaya-kepemimpinan-pesantren/
pada tanggal 03 Maret 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar