Kamis, 16 April 2015

STRUKTUR ORGANISASI, PEMIMPIN, MODEL DAN TIPE KEPEMIMPINAN PESANTREN

BAB I
PENDAHULUAN

A.       Latar Belakang
Menurut M. Arifin Pesantren memiliki arti sebagai suatu lembaga pendidikan agama Islam yang tumbuh serta diakui masyarakat sekitar, dengan sistem asrama (komplek) di mana santri-santri menerima pendidikan agama melalui sistem pengajian atau madrasah yang sepenuhnya di bawah kedaulatan dari leadershipseorang atau beberapa orang kiai dengan ciri-ciri khas yang bersifat kharismatik serta independen dalam segala hal. Dari pengertian tersebut sudah jelas bahwa pesantren itu suatu lembaga pendidikan Islam. Lembaga tidak lepas dari yang kita sebut struktur organisasi. Dalam struktur organisasi akan ada pembagian-pembagian tugas dan suatu jabatan pada orang-orang yang terpilih untuk terlibat dalam mengurus suatu pesantren. Struktur organisasi ini di buat untuk mempermudah dan mengefektifkan suatu tugas dalam mengelelola suatu pesantren.
Struktur Organisasi pesantren sangat erat kaitannya dengan pemimpin dan kepemimpinan di pesantren. Karena dalam struktur organisasi memiliki pemimpin yang dijadikan pusat untuk memberikan intruksi kepada bawahannya. Tentu semua itu tidak lepas dari pola-pola kepemimpinan dan tipe kepemimpinan seorang pemimpinn dalam memimpin dan mengelola suatu pesantren. Pemimpin dalam pesantren pun memiliki pola-pola yang berbeda dalam melakukan kepemimpinannya. Dalam makalah ini akan dibahas mengenai Struktur organisasi di pesantren, Pemimpin dan Kepemimpinan, Model atau Pola Kepemimpinan dan Tipe Kepemimpinan.
B.       Rumusan Masalah
1.        Apa dan Bagaimana Struktur Organisasi di Pesantren?
2.        Siapa Pemimpin di Pesantren dan apa itu kepemimpinan?
3.        Apa saja model atau pola kepemimpinan dalam pesantren?
4.        Apa saja tipe-tipe kepemimpinan pemimpin di pesantren?
C.       Tujuan Makalah
Tujuan dalam penulisan makalah ini adalah untuk menambah pengetahuan serta memahami tentang Struktur Organisasi di pesantren, pemimpin dan kepemimpinan, model kepemimpinan, dan tipe kepemimpinan. Adapun tujuan lain yaitu untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Manajemen Pesantren. Diharapkan makalah ini bermanfaat bagi pembacanya.

BAB II
PEMBAHASAN
A.       Struktur Organisasi
Sebelum definisi struktur organisasi lebih baik untuk mengetahui dulu apa itu organisasi. Organisasi merupakan alat atau wadah yang statis.[1] Selain itu ada pula definisi lain bahwa organisasi yaitu sekelompok orang (dua atau lebih) yang secara formal dipersatukan dalam suatu kerjasama untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
Struktur organisasi adalah suatu susunan dan hubungan antara tiap bagian serta posisi yang ada pada suatu organisasi dalam menjalankan kegiatan operasional untuk mencapai tujuan yang diharapkan dan diinginkan. Struktur organisasi menggambarkan jelas pemisahan kegiatan pekerjaan antara yang satu dengan yang lain dan bagaimana hubungan aktivitas dan fungsi dibatasi. Dalam struktur organisasi baik harus menjelaskan hubungan wewenang siapa melapor kepada siapa, jadi ada satu pertanggungjawaban apa yang akan dikerjakan. [2]
Struktur Organisasi dalam pesantren sudah pasti berbeda-beda bentuknya karena setiap pesantren memiliki perbedaan dalam kepemimpinan dan kepengurusan sesuai kebutuhan pesantren tersebut, karena itu disini kami akan memberikan serta menjelaskan pembagian/ struktur organisasi dari salah satu contoh pesantren. Pembagian struktur organisasi tersebut antara lain sebagai berikut:
1.         Majelis Pengasuh/Dewan Pembina/Kyai
Pengasuh adalah pimpinan tertinggi yang memegang wewenang penuh di Pondok pesantren.[3] Kewenangan tersebut diantaranya adalah mengangkat dan memeberhentikan ketua umu Yayasan, menentukan arah kebijakan pondok pesantren ke dalam dan ke luar, memberikan legalisasi terhadap semua kebijakan-kebijakan yang diambil oleh pengurus harian.
2.         Dewan Pengawas
Dewan pengawas adalah sebuah badan yang berfungsi sebagai pendamping Majelis pengasuh dalam hal memberikan masukan dan melakukan pengawasan terhadap kebijakan, kinerja, dan pelaksanaan program-program yayasan.


3.         Pengurus Harian
Pengurus adalah pelaksana harian seluruh program-program yayasna yang telah digariskan sekaligus penanggungjawab seluruh kebijakan-kebijakan yang diambil. Pada setiap periode pengurusnya terdiri dari 9 orang dengan struktur organisasi Ketua Umum, Ketua I dan Ketua II, Sekretaris Umum, Skeretaris I dan Sekretaris II, Bendahara Umum, Bendahara I dan Bendahara II.
Dalam tatanan operasinya ketua umum dengan dibantu oleh Sekretaris Umum berfungsi sebagai Top Leader, yang bertanggung jawab terhadap semua kebijakan dan program Departemen Pendidikan, Departemen HUMASY, Departemen KAMTIB, dan Departemen Infokom.
Sedangkan sekretaris II dengan dibantu oleh Sekretaris II bertanggung jawab terhadap kebijakan dan program Depertemen Wirus, Departemen Sarana Prasarana dan Departemen Layanan Kesehatan dan Olahraga, Departemen Penelola Aset, Departemen Ekonomi dan Koperasi.
4.         Pengurus Bidang/Departemen
Pengurus departemen adalah ujung tombak bagi perkembangan yayasan. Selain sebagai pelaksana program yang telah digariskan, pengurus Departemen juga dituntut berkreatifitas dengan daya inovasi yang tinggi guna menentukan berbagai program dan kebijakan yang diharapkan mampu melahirkan terobosan baru bagi pengembangan dan kemajuan masing-masing bidang.dan pengurus departemen ada 9 yang telah disebutkan pada poin ke tiga.

B.       Pemimpin dan Kepemimpinan
Menurut Miftah Thoha dalam bukunya Prilaku Organisasi bahwa pemimpin adalah seseorang yang memiliki  kemampuan memimpin, artinya memiliki kemampuan untuk mempengaruhi orang lain atau kelompok tanpa mengindahkan bentuk alasannya.[4] Sedangkan menurut Fiedler (1976:8) lebih melihat pemimpin sebagai individu dalam kelompok yang diberi tugas untuk mengarahkan dan mengkoordinasikan aktifitas-aktifitas kelompok yang terkait dengan tugas.[5] Pemimpin adalah seseorang atau kelompok orang yang melaksanakan peran kepemimpinan antara lain sebagai eksekutif, administator, penengah, penganjur, ahli. Atau kepala, komandan, ketua dan lain sebagainya yang selalu tanggap, tampil berani, memiliki inisiatif serta kemampuan untuk memperngaruhi orang lain dan atau suatu kelompok dalam upaya mencapai tujuan lembaga atau tujuan organisasi yang dipimpinnya.[6]
Kepemimpinan menurut Harsey dan Blanchard adalah “A leadership is any time one attempts to impact the behavior of and an individual or group regardless of the reason. It may be for one’s own goals or afriend’s goals, and they may or not be coungruent with organizational goals”. Maksudnya kepemimpinan adalah setiap upaya
seseorang, atau perilaku kelompok yang bertindak dalam suatu manajemen. Upaya mempengaruhi ini bertujuan untuk mencapai tujuan perorangan, baik tujuan sendiri maupun tujuan orang lain. Tujuan individual tersebut mungkin sama, atau mungkin pula berbeda dengan tujuan organisasi.[7]
Selanjutnya kepemimpinan berasal dari kata pimpin yang berarti bimbing dan tuntun, misalnya orang buta datang dipimpin. Maksudnya orang buta datang dituntun. Selain itu pimpin juga berarti menunjukan jalan, mengetuai atau mengepalai (rapat, perserikatan dan sebagainya) serta melatih (mendidik, mengajari dan sebagainya) supaya akhirnya dapat mengerjakan sendiri. Selanjutnya kosa kata pimpin mendapatkan awal ke dan akhiran an, sehingga menjadi kepemimpinan. Namun di dalam Kamus Bahasa Indonesia kata pimpinan tersebut tidak dikembangkan menjadi kata kepemimpinan, sehingga tidak ada penjelasannya. Kata kepemimpinan selanjutnya merupakan terjemahan dari kosakata bahasa Inggris, leadership. Dalam bahasa Arab kosakata yang dekat dengan kosakata kepemimpinan adalah al-imamiyah, ra’iyah, sulthaniyah, al-khilafah dan al-mulkiyah, yang secara harfiah berarti orang yang berada di barisan depan, yang mengasuh, yang mengepalai, yang menjadi khalifah dan yang menjadi raja.[8]
Dalam dunia pesantren pemimpin atau yang memiliki kedudukan tertinggi yaitu Kyai. Kyai merupakan elemen paling esensial dari suatu pesantren. Menurut asal-usulnya, perkataan kyai dipakai untuk ketiga jenis gelar yang saling berbeda:
1.         Sebagai gelar kehormatan bagi batang-barang yang dianggap keramat; umpanya, “Kyai Garuda Kencana” dipakai untuk sebutan Kereta Emas yang ada di Keraton Yogyakarta.
2.         Gelar kehormatan untuk orang-orang tua pad aumumnya.
3.         Gelar agama yang diberikan oleh masyarakat kepada seorang ahli agama Islam yang memiliki atau menjadi pemimpin pesantren dan mengajarkan kitab-kitab Islam klasik kepada para santrinya. Ia juga sering disebut seorang alim (orang yang dalam pengetahuan Islamnya).[9]
Koentjaraningrat membedakan antara kepemimpinan sebagai kedudukan dan kepemimpinan sebagai suatu proses sosial. Sebagai kedudukan, kepemimpinan merupakan suatu kompleks dari hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang dapat dimiliki oleh seseorang atau suatu badan. Sebagai suatu proses sosial, kepemimpinan meliputi segala tindakan yang dilakukan seseorang atau suatu badan yang menyebabkan gerak dari masyarakat.
Kepemimpinan menurut agama (Islam) memiliki ragam istilah. Ada yang menyebutkan Imamah, dan ada Khilafah. Masing-masing kelompok Islam memiliki pendefinisian berbeda satu sama lain. Menurut Kaum Sunni, Imamah disebut juga Khilafah. Sebab orang yang menjadi Khilafah adalah penguasa tertinggi bagi umat Islam yang menggantikan Rasul SAW. Khilafah juga disebut sebagai Imam (pemimpin) yang wajib ditaati.[10]
Dahulu orang memandang seorang yang pandai di bidang agama Islam baru layak disebut kyai bila ia mengasuh atau memimpin pesantren. Sekarang meskipun tidak memimpin pesantren, bila ia memiliki keunggulan dalam menguasai ajaran-ajaran Islam dan amalan-amalan ibadah sehingga memiliki pengaruh yang besar di masyarakat, sering juga disebut kyai seperti Kyai Ali Yafie, Kyai Abdul Muchtit Muzadi dan lain-lain. Hanya saja berkaitan dengan wacana politik pendidikan pesantren yang sennatiasa dikendalikan kyai, maka pemakaian istilah kyai dalam konteks ini lebih mengacu pada pemahaman lain yakni kyai sebagai pemimpin pesantren, tetapi bukan hanya mengajarkan kitab-kitab islam klasik semata seperti pemahaman awal tersebut, melainkan juga meliputi pengajaran kitab-kitab modern atau kontemporer.[11]
Kyai adalah pemimpin nonformal sekaligus pemimpin spiritual dan posisinya sangat dekat dengan kelompok-kelompok masyarakat lapisan bawah di desa-desa. Sebagai  pemimpin msayarakat Kyai memiliki jema’ah, komonitas dan massa yang diikat oleh hubungan keguyuban yang erat dan ikatan budaya paternalistik. [12]
Keberadaan seorang kiai sebagai pimpinan pesantren, ditinjau dari tugas dan fungsinya mengandung fenomena yang unik. Dikatakan unik, karena kyai sebagai seorang pemimpin di lembaga pendidikan Islam bertugas tidak hanya menyusun program atau kurikulum, membuat peraturan, merancang sistem evaluasi, tetapi juga bertugas sebagai pembina dan pendidik umat serta pemimpin umat (masyarakat).[13]

C.       Model atau Pola Kepemimpinan
Kosakata “pola” dalam bahasa Indonesia mengandung beberapa arti. Pertama, pola berarti gambar yang dipakai untuk contoh batik; Kedua, pola berarti corak batik atau tenun; suri; dan Ketiga, pola berarti potongan kertas dan sebagainya yang dipakai untuk contoh membuat baju, dan sebagainya, pation, model. Dalam bahasa Inggris, pola merupakan terjemahan dari kosakata “pattern” yang berarti pola, mal, susunan gambar dan warna, pola, contoh, teladan.
Yang dimaksud dengan pola kepemimpinan pondok pesantren adalah model, gambaran, ukuran, contoh atau teladan yang digunakan dalam mengarahkan, mengolala, membina dan mengembangkan lembaga pendidikan keagamaan. Pola kepemimpinan pondok pesantren ini selanjutnya digunakan sebagai acuan, pedoman, pegangan dan rujukan dalam mengelola pesantren dalam rangka mencapai tujuanya, yaitu menyebarkan ajaran Islam, menumbuhkan budaya dan tradisi Islam, serta menghasilkan para ulama, serta tujuan lainnya sesuai dengan perkembangannya. Pola kepemimpinan pondok pesantren ini selanjutnya memiliki ciri-ciri khusus yang membedakannya dengan pola kepemimpinan pada lembaga pendidikan lainnya. Nurcholish Madjid sebagaimana dikemukakan di atas, menemukan pola kepemimpinan pesantren itu pada umumnya berada di tangan seorang kyai yang bersifat kharismatik, individual dan religious feodalistik.
Mastuhu yang melakukan penelitian terhadap enam pesantren terbesar di Jawa, yaitu Pesantren Modern Gontor, Pesantren Tebu Ireng, Pesantren Pacitan, Pesantren Guluk-guluk, Pesantren Blok Agung dan Pesantren Sukorejo, misalnya, mengemukakan dua pola kepemimpinan pondon pesantren, yaitu dari kharismatik ke rasionalistik, dan dari Laissez-Faire ke Birokratik. Sedangkan Nurcholish Madjid berdasarkan hasil pengamatannya terhadap pesantren di Jawa, sebagaimana dikutip di atas menemukan tiga pola kepemimpinan pondok pesantren, yaitu kharismatik, personal (individual), dan religio fedodalisme. Sementara itu Kasful Anwar USU, yang melalukakan penelitian terhadap kepemimpinan kyai pada tiga pesantren terbesar di Jambi, yaitu Pesantren Nurul Iman, Pesantren As’ad dan Pesantren Karya Pembangunan al-Hidayah menyimpulkan adanya pola kepemimpinan individual, kolektif pasif (pada Pesantren Nurul Iman dan Pesanten As’ad), dan kepemimpinan birokratik (pada Pesantren Karya Pembangunan al-Hidayah). Dengan demikian pola kepemimpinan pondok pesantren yang ada saat ini adalah pola kepemimpinan individual, kharismatik, religio feodalistik; pola kepemimpinan kolektif passif; Laissez-Faire, dan pola kepemimpinan birokratik. Keempat pola kepemimpinan pondok pesantren ini secara singkat dapat dikemukakan sebagai berikut:
1.         Pola Kepemimpinan Individual, Kharismatik, Religio Feodalistik
Menurut Mastuhu, bahwa yang dimaksud dengan kepemimpinan kharismatik adalah kepemimpinan yang bersandar kepada kepercayaan santri atau masyarakat umum sebagai jama’ah, bahwa kiai yang merupakan pemimpin pesantren mempunyai kekuasaan yang berasal dari Tuhan. Kiai pesantren dalam NU memiliki kedudukan yang sentral, baik sebagai pendiri, pemimpin dan pengendali organisasi, maupun sebagai panutan kaum nahdiyyin. Di antara contoh kharismatik misalnya, rata-rata setiap hari orang tamu yang berkunjung kepada kiai, apakah itu secara individual atau kolektif baik pejabat maupun masyarakat biasa, terutama warga NU dari berbagai cabang atau wilayah. Mereka datang untuk berbagai macam keperluan, mulai dari silaturahmi sampai kepada keperluan organisasi. Begitu besarnya kharisma kepemimpinan kiai, sampai-sampai pada masalah yang mustahil dalam agama pun tidak ada orang yang berani mempersoalkannya.
Selanjutnya, karena kepemimpinan kiai adalah kharismatik, maka dengan sendirinya juga bersifat pribadi atau personal. Kenyataan itu mengandung implikasi bahwa seorang kiai tak mungkin digantikan oleh orang lain serta sulit ditundukan ke bawah “rule of the game”-nya administrasi dan menagemen modern.
2.         Pola Kepemimpinan Kolektif Passif
Menurut Kasyful Anwar US dapat diartikan sebagai proses kepemimpinan kolaboratif yang saling menguntungkan, yang memungkinkan seluruh elemen sebuah institusi turut ambil bagian dalam membangun sebuah kesepakatan yang mengakomodasi tujuan semua. Kolaborasi dimaksud bukan hanya berarti “setiap orang” dapat menyelesaikan tugasnya, melainkan yang terpenting adalah semua dilakukan dalam suasana kebersamaan dan saling mendukung (al-jam’iyah al-murassalah atau collegiality and supportiveness).
Model kepemimpinan kolektif atau bentuk Yayasan ini dinilai sebagai salah satu solusi strategis, karena beban kiai menjadi lebih ringan, karena ditangani bersama sesuai dengan tugas masing-masing. Kiai juga tidak terlalu menanggung beban moral tentang kelanjutan pesantren di masa depan. Namun demikian kolektifitas dan kolaborasi ini masih bersifat pasif, karena kolektivitas kepemimpinan di pondok pesantren tersebut lebih didominasi kiai sebagai pimpinan pesantren. Dengan kharisma yang dimilikinya, kiai mempunyai wibawa luar biasa dan mempunyai pengaruh luas yang tidak dibatasi aturan- aturan formal. Kiai mempunyai kemampuan untuk mengetahui, mempengaruhi dan meyakinkan masyarakat.
3.         Pola Laissez Faire Pola kepemimpinan Laisses Faire
Menurut penelitian Mastuhu, dijumpai di Pondok Pesantren Guluk-guluk, Madura. Pola kepemimpinan ini ditandai dengan hubungan kerja yang dilandasi oleh tiga kata kunci: ikhlash, barokah, dan ibadah. Tatanan kerja organisasinya kurang jelas, dan pembagian kerja antara unit-unit kerja tidak dipisahkan secara tajam. Setiap pimpinan unit kerja tidak dipisahkan secara tajam. Setiap pimpinan unit bebas berinisiatif dan bekerja untuk memajuan dan kebaikan pesantren selama apa yang dilakukan tidak bertentangan dengan sunnah pondok dan memperoleh restu kiai, setidaknya diperbolehkan, atau tidak dilarang kiai, maka selama itu pula perkerjaan boleh diteruskan. Hal yang mirip ini juga ditemukan di Pesantren Blok Agung di mana deskripsi tugas atau perbedaan peran dan status antara unit-unit kerja, misalnya, tidak jelas, dan karena itu tumpang tindih: peran dan status di antara mereka merupakan satu hal yang biasa.
4.         Pola Kepemimpinan Birokratik Terbatas
Pola kepemimpinan pesantren yang birokratik pada dasarnya adalah pola kepemimpinan yang merupakan kebalikan atau lawan dari pola kepemimpinan Laissez-Faire sebagaimana disebutkan di atas. Pola kepemimpinan ini, menurut Penelitian Mastuhu dijumpai pada Pondok Pesantren Sukorejo. Menurutnya, bahwa pada umumnya, pembagian kerjad alam struktur organisasi lebih jelas dan resmi daripada pembagian kerja pada unit-unit kerja di pesantren. Namun demikian segala pembagian kerja yang relatif jelas dan resmi tetap ditentukan lebih wibawa kiai yang sangat kuat. Selain itu pola kepemimpinan birokratik terbatas ini juga ditemukan pada Pesantren Tebuireng. Dengan demikian, antara pola kepemimpin kolektif pasif dan birokratik terbatas, pada dasarnya memiliki jiwa yang sama, yaitu sama-sama dibatasi oleh wibawa dan kharismatik kiai.
Di Pondok Pesantren Tebu Ireng misalnya tampak ada kecenderungan, bahwa kedudukan dewan kiai, sebagai penjaga kemurnian nilai agama, menjadi bagian atau salah satu unit kerja kesatuan organisasi pengelolaan penyelenggaraan pesantren, sehingga pusat kekuasaan sedikit terdistribusi di kalangan elite pesantren dan tidak terlalu terpusat pada kiai. Sejalan dengan itu, pembagian tugas di kalangan unit-unit kerja cenderung berubah menuju pembagian kerja yang lebih rinci dan spesifik, menggunakan teknologi maju, yakni bank dan komputer yang sudah digunakan sebagai sarana kerja. [14]

D.       Tipe-Tipe Kepemimpinan
Tipe Kepemimpinan sering disebut perilaku kepemimpinan atau gaya kepemimpinan (leadership style). Miftah Toha (2003:49) mengemukakkan bahwa kepemimpinan merupakan norma atau perilaku yang digunakan oleh seseorang pada saat orang tersebut mencoba mempengaruhi perilaku orang lain. Oleh karenanya usaha menyelaraskan persepsi di antara mempengaruhi dengan orang yang perilakunya akan dipengaruhi menjadi amat penting. Duncan menyebutkan ada tiga gaya kepemimpinan yaitu Otokrasi, demokrasi, dan gaya bebas (the laisses faire).[15]
Tipe bisa diartikan juga sebagai jenis kepemimpinan, Em Nadjib Hassan, dkk dalam penelitiannya menggambarkan bahwa jenis atau profil kepemimpinan kiai di pesantren memiliki keunikan yang cukup bervariasi. Profil kepemimpinan kiai dalam mengelola pesantren (secara khusus di Kudus) memiliki kecenderungan sebagai berikut :
1.        Kiai dengan profil kepemimpinan masyarakat (community leader) yaitu seorang kiai yang dikenal kebesarannya, baik kebesaran pribadinya maupun pesantrennya, karena sang kiai memiliki posisi atau jabatan dalam organisasi sosial keagamaan, politik atau memiliki jabatan dalam kekuasaan tertentu.
2.        Kiai berprofil kepemimpinan keilmuan (intellectual leader), yaitu seorang kiai yang memiliki kebesaran pribadi dan pesantrennya karena sang kiai dianggap memiliki keahlian ilmu secara mendalam yang dijadikan rujukan atau panutan masyarakat dalam menyelesaikan persoalan. Bidang ilmu itu misalnya ilmu fikih, ilmu hadist dan lain-lain.
3.        Kiai berprofil kepemimpinan rohani (spiritual leader), yaitu kiai yang kebesaran pribadi dan pesantrennya, karena sang kiai itu memiliki kemampuan dalam urusan peribadatan (imam masjid), menjadi mursyid (guru) thariqah, dan menjadi panutan moral keagamaan.
4.        Kiai dengan profil kepemimpinan administratif (administrative leader), yaitu kiai yang hanya berperan sebagai penanggung jawab, sedangkan pembinaan proses pembelajaran pesantren diserahkan kepada seseorang yang dianggap memiliki kualifikasi sesuai dengan visi dan misi pesantrennya.
5.        Kiai dengan profil kepemimpinan emosional (emotional leader), yaitu kebesaran kepemimpinan kiai yang lebih didasarkan pada ikatan nilai-nilai kebesaran seorang kiai tertentu, contoh: KH. Turaichan Adjhuri merupakan salah satu kiai besar di Kudus dan memiliki karakteristik sebagai pengasuh pesantren. Akan tetapi kebesarannya lebih dikenal sebagai ahli ilmu falak terkemuka, baik di tingkat lokal maupun nasional.
6.        Kiai yang berprofil kepemimpinan ekonomi (economic leader), yaitu kiai yang mengelola pesantren dengan cara melaksanakan program pemberdayaan potensi ekonomi masyarakat dan para santrinya.
7.        Kiai dengan profil kepemimpinan eksoteris (exoteris leader), yaitu kiai yang mengelola pesantren dengan cara menonjolkan aspek formal yang dimiliki pesantren.
Kiai memiliki peranan penting dalam perkembangan pesantren. Peranan (role) adalah tingkah laku individu yang mementaskan suatu kedudukan tertentu dalam hubungannya dengan individu-individu dalam kedudukan lain. Peranan merupakan aspek dinamis dari kedudukan (status).[16]



BAB III
PENUTUP
A.      Kesimpulan
Struktur organisasi adalah suatu susunan dan hubungan antara tiap bagian serta posisi yang ada pada suatu organisasi dalam menjalankan kegiatan operasional untuk mencapai tujuan yang diharapkan dan diinginkan. Struktur organisasi menggambarkan jelas pemisahan kegiatan pekerjaan antara yang satu dengan yang lain dan bagaimana hubungan aktivitas dan fungsi dibatasi. Dalam struktur organisasi baik harus menjelaskan hubungan wewenang siapa melapor kepada siapa, jadi ada satu pertanggungjawaban apa yang akan dikerjakan. Struktur organisasi di setiap pesantren memiliki bentuk yang berbeda sesuai kebutuhan pesantren tersebut.
Koentjaraningrat membedakan antara kepemimpinan sebagai kedudukan dan kepemimpinan sebagai suatu proses sosial. Sebagai kedudukan, kepemimpinan merupakan suatu kompleks dari hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang dapat dimiliki oleh seseorang atau suatu badan. Sebagai suatu proses sosial, kepemimpinan meliputi segala tindakan yang dilakukan seseorang atau suatu badan yang menyebabkan gerak dari masyarakat. Dalam hal ini pemimpin pesantren lebih sering disebut kyai.
Kyai adalah pemimpin nonformal sekaligus pemimpin spiritual dan posisinya sangat dekat dengan kelompok-kelompok masyarakat lapisan bawah di desa-desa. Sebagai  pemimpin msayarakat Kyai memiliki jema’ah, komonitas dan massa yang diikat oleh hubungan keguyuban yang erat dan ikatan budaya paternalistik.
Pola kepemimpinan pondok pesantren adalah model, gambaran, ukuran, contoh atau teladan yang digunakan dalam mengarahkan, mengolala, membina dan mengembangkan lembaga pendidikan keagamaan. Pola kepemimpinan pondok pesantren yang ada saat ini adalah pola kepemimpinan individual, kharismatik, religio feodalistik; pola kepemimpinan kolektif passif; Laissez-Faire, dan pola kepemimpinan birokratik
Tipe bisa diartikan juga sebagai jenis kepemimpinan, Em Nadjib Hassan, dkk dalam penelitiannya menggambarkan bahwa jenis atau profil,antara lain yaitu Kiai yang berprofil kepemimpinan ekonomi (economic leader), Kiai dengan profil kepemimpinan eksoteris (exoteris leader), Kiai berprofil kepemimpinan keilmuan (intellectual leader), Kiai berprofil kepemimpinan rohani (spiritual leader), Kiai dengan profil kepemimpinan administratif (administrative leader), Kiai dengan profil kepemimpinan emosional (emotional leader), Kiai dengan profil kepemimpinan masyarakat (community leader).
DAFTAR PUSTAKA

Aynul. “Leadership: Definisi Pemimpin” diakses dari http://referensi-kepemimpinan.blogspot.in/2009/03/definisi-pemimpin.html?=1 tanggal 23 Februari 2015.
Badrudin. 2013. Dasar-Dasar Manajemen. Bandung: CV Alfabeta.
Dawan, Ainurrafiq dan Ta’arifin, Ahmad. 2005.  Manajemen Madrasah Berbasis Pesantren. Sapen: Listafariska Putra.
Dhofier, Zamakhsyari . 2011. Tradisi Pesantren Studi Pandangan Hidup Kyai dan Visinya Mengenai Masa Depan Indonesia. Jakarta: LP3ES.
Dwitama, Rynaldi “Pengertian Struktur Organsasi”, diakses dari http://rynaldi-dwitama.blogspot.com/2012/05/pengertian-struktur-organisasi.html tanggal 1 Maret 2015.
Kaimuddin, Andi.  “Manajemen dan Gaya Kepemimpinan Pesantren” diakses dari  https://ruanginstalasi.wordprrss.com/2012/09/19/manajemen-dan-gaya-kepemimpinan-pesantren/ tanggal  03 Maret 2015.
Masyhud, Sulthon dan Khusnurdilo. 2005. Manajemen Pondok Pesantren. Jakarta: Diva Pustaka.
Nata, Abudin.  “Transformasi dan Pola Kepemimpinan Pondok Pesantren”, diakses dari http://uinjkt.ac.id/index/php/detail/artikel/19/transformasi_dan_pola_kepemimpinan_pondok_pesantren.fdi  tanggal 2 Maret 2015
Qomar, Mujamil. 2007. Pesantren dari Transformasi Metodologi Menuju Demokratisasi Institusi. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Struktur Organisasi dan Pengurus”. diakses dadri http://sidogiri.net/struktur/ tanggal 1 Maret 2015.



[1] Badrudin, Dasar-Dasar Manajemen, (Bandung: CV Alfabeta, 2013) cet. I, hlm. 111.
[2] Rynaldi Dwitama, “Pengertian Struktur Organsasi”, diakses dari http://rynaldi-dwitama.blogspot.com/2012/05/pengertian-struktur-organisasi.html pada tangga; 1 Maret 2015.
[3]Struktur Organisasi dan Pengurus”, diakses dadri http://sidogiri.net/struktur/ pada tanggal 1 Maret 2015.
[4] Aynul, “Leadership: Definisi Pemimpin”, diakses dari http://referensi-kepemimpinan.blogspot.in/2009/03/definisi-pemimpin.html?=1 pada tanggal 23 Februari 2015.
[5] Sulthon Masyhud dan Khusnurdilo, Manajemen Pondok Pesantren, (Jakarta: Diva Pustaka, 2005), cet. II, hlm. 24.
[6] Ainurrafiq Dawan dan Ahmad Ta’arifin, Manajemen Madrasah Berbasis Pesantren, (Sapen, Listafariska Putra, 2005), cet. II, hlm. 70.
[7] Ibid, hlm. 67.
[8] Abudin Nata, “Transformasi dan Pola Kepemimpinan Pondok Pesantren”, diakses dari http://uinjkt.ac.id/index/php/detail/artikel/19/transformasi_dan_pola_kepemimpinan_pondok_pesantren.fdi pada tanggal 2 Maret 2015.
[9] Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren Studi Pandangan Hidup Kyai dan Visinya Mengenai Masa Depan Indonesia, (Jakarta: LP3ES, 2011), cet. IX, hlm. 93.
[10] Andi Kaimuddin, “Manajemen dan Gaya Kepemimpinan Pesantren” diakses dari  https://ruanginstalasi.wordprrss.com/2012/09/19/manajemen-dan-gaya-kepemimpinan-pesantren/ pada tanggal  03 Maret 2015.
[11] Mujamil Qomar, Pesantren dari Transformasi Metodologi Menuju Demokratisasi Institusi, (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2007), cet. III, hal. 28.
[12] Ibid, hlm. 29
[13] Andi Kaimuddin, “Manajemen dan Gaya Kepemimpinan Pesantren” diakses dari  https://ruanginstalasi.wordprrss.com/2012/09/19/manajemen-dan-gaya-kepemimpinan-pesantren/ pada tanggal  03 Maret 2015.
[14] Abudin Nata, “Transformasi dan Pola Kepemimpinan Pondok Pesantren”, diakses dari http://uinjkt.ac.id/index/php/detail/artikel/19/transformasi_dan_pola_kepemimpinan_pondok_pesantren.fdi pada tanggal 2 Maret 2015
[15] Badrudin, Dasar-Dasar Manajemen, (Bandung: CV Alfabeta, 2013) cet. I, hlm. 176.
[16] Andi Kaimuddin, “Manajemen dan Gaya Kepemimpinan Pesantren” diakses dari  https://ruanginstalasi.wordprrss.com/2012/09/19/manajemen-dan-gaya-kepemimpinan-pesantren/ pada tanggal  03 Maret 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar