Selasa, 28 Oktober 2014

Nabi Muhammad SAW

BAB II
PEMBAHASAN
A.    Sejarah Lahirnya Nabi Muhammad saw
Nabi Muhammad lahir pada hari Senin tanggal 12 Rabia’ul Awal tahun gajah yang bertepatan pada tanggal 20 April 570 M.[1] Ayahnya bernama Abdullah bin Abdul Muthalib, seorang suku Quraisy yang besar pengaruhnya, dan Ibnya bernama Aminah binti Wahab dari Bani Zuhrah.
Tahun kelahiran Nabi Muhammad dinamai tahun gajah karena 50 hari hari sebelum kelahiran beliau, datang Abrahah al-Habsy, Gubernur Kerajaan Habsy (Ethiopia) di Yaman, beserta pasukannya berjumlah 60.000 personel yang mengendarai gajah untuk mengahncurkan Ka’bah. Abrahah marah karena gereja besar (al-Qulles) yang dibangun di San’a ibu Kota Yaman, tembiknya di lumuri kotoran oleh seseorang dari Bani Kinanah. Abrahah mendirikan gereja tersebut karena setiap tahunnya berbondong-bondong ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji sehingga Ia ingin mengalihkannya agar Bangsa Arab yang menunaikan ibadah haji kesana. Namun usahanya gagal karena ia dan seluruh bala tentaranya dihancurkan oleh Allah Swt, dengan mendatangkan burung Ababil yang membawa batu dari neraka dan melempari mereka sehingga terserang wabah penyakit yang mematikan.
Ayah Nabi Muhammad meninggal sebelum beliau dilahirkan (tiga bulan dalam kandungan). Beliau pertama diasuh oleh Halimah binti Abi Du’aib As-sa’diyah dari kampung Bani Sa’ad selama empat tahun. Ibunya serta pembantu wanita Ummu Aiman berziarah ke makam ayahnya dan mengunjungi paman-paman Nabi, Bani Nazar selama sebulan di Ytsrib (Madinah) dalam perjalanan pulang untuk kembali ke Makkah, ibunya meninggal dunia di Abwa’ yaitu suatu tempat yang terletak antara Makkah dan Madinah. Ketika ibunya meninggal Nabi berusia 6 tahun.[2]  Setelah Siti Aminah meninggal Abdul Muthalib yang merawat Nabi Muhammad. Selama dua tahun, tanggung jawab selanjutnya beralih kepada paman nya Abu Thalib. Ketika berusia 12 tahun Nabi Muhammad saw. Ikut pertama kali dalam kafiah dagang ke Syiria (Syam) yang dipimpin oleh Abu Thalib. Dalam perjalanan tersebut, ia bertemu dengan pendeta keristen bernama Buhaira di Busra sebelah Selatan Syiria pendeta itu melihat tanda-tanda kenabian pad Muhammad sesuai dengan petunjuk cerita-cerita keristen.
Kemudian, pada saat Nabi Muhammad berusia 25 tahun , beliau menikah dengan Siti Khadijah yang berusia 40 tahun. Pernikahannya dengan Khadijah melahirkan 6 orang anak yaitu; Fatimah, Ummi Kultsum, Jainab, Ruqayyah, Qasim dan Abdullah. Semua putra beliau meninggal dunia selagi masih kecil. Sedangkan semua putri beliau sempat menjumpai Islam, dan mereka masuk Islam serta ikut hijrah. Hanya saja mereka semua meninggal dunia selagi beliau masih hidup, kecuali Fathimah.
B.  Periode Mekkah: Nabi Muhammad Sebagai Pemimpin Agama
Periode makkah bagi Nabi adalah masa ketika beliau berada di kota Makkah sejak menerima wahyu pertama sampai hijrah ke Yatsrib (Madinah). Beliau hijerah ke Yatsrib pada hari jum’at tanggal 12 Rabi’ul Awwal 1 H (tahun ke 13 dari kenabian) adalah 13 tahun 6 bulan. Selama periode Makkah tersebut, Nabi Muhammad saw. Berperan sebagi pemimpin agama. Perkataan “pemimpin” agama berasal dari kata pimpin ditambah awal pe dan kata agama. Kata “pemimpin” artinya: 1). Orang yang memimpin, 2). Petunjuk, buku petunjuk/pedoman.[3] Sementara itu, kata agama diartikan sebagai tuntutan, teks kitab suci dan diwarisi secara turun temurun.[4] Jadi arti pemimpin agama secara sederhana adalah orang yang memberikan tuntutan. Perkataan pemimpin agama yang dimaksud adalah orang yang memberikan petunjuk (tuntutan) dan mengajarkan tentan persoalan-persoalan agama. Perkataan ini sejalan dengan peran Nabi Muhammad saw. Di kota Makkah yakni sebagai pemimpin agama (dai dan pendidik).
Peran Nabi Muhammad sebagai seorang da’i, didalam catatn sejarah diawali dengan adanya perintah Allah SWT dalam surat al-Muddatsir (74): 1-7.
Menurut Ahmad Syalabi,[5] dakwah yang dilakukan oleh Nabi Muhammad ada tiga fase, yaitu:
1)      Menyeru seseorang
Setelah turun surat Al-Muddatsir: 1-7 yang menyuruh Rasulullah menyeru kepada agama Allah, beliau menyeru keluarga dan sahabat-sahabat dekat kepada pokok-pokok agama islam yaitu percaya adanya tuhan dan meninggalkan pemujaan pada berhala.
2)      Menyeru Bani Abdul Muththalib
Nabi menyeru agama baru kepada Bani Abdul Muthtahalib setelah Allah SWT menurunkan firman-Nya, Qs as-Syuara ayat 214. Seruan Nabi tersebut disambut baik oleh Bani Abdul Muththalib namun sebagian lagi ada yang mendustakan nya seperti Abu Lahab dan Istri nya.  
3)      Seruan Umum
Setelah menyeru Bani Abdul Muththalib, Nabi menyeru kepada segenap lapisan manusia, baik golongan bangsawan ataupun hamba sahaya, kaum kerabat ataupun orang jauh untuk menganut agama Islam secara terang-terangan. Mula-mula Nabi menyeru penduduk Makkah, kemudian penduduk negri-negi lain, dan orang-orang berbagai negri yang berdatangan ke Makkah untuk melaksanakan haji. Seruan umum ini dilakukan Nabi setelah firman Allah Qs. al-Hijr ayat 94.
Peranan Nabi Muhammad kedua yaknni sebagai seorang pendidik. Allah SWT mengajar Rasul-Nya mencamkan dan menghayati ilmu Illahi yang diterimanya itu di dalam jiwa beliau hingga menjadi bagian dari hakekat hidup beliau sendiri. Setelah itu beliau mengajarkan kepada orang-orang dengan penuh ketekunan dan kesungguhan.[6]
Tempat yang digunakan Nabi Muhammad dalam membina umatnya adalah rumah al-Arqam ibnul Abil Arqam. Muhammad pergi kerumah al-Arqam sebelum beliau pergi dakwah ke depan masyarakat umum atau beliau tidak akan pergi dakwah ketempat tersebut, ketika kaum oposisi mengadakan perlawanan. Adapun materi yang diberikan adalah bentuk dogmatika yang dikemas dengan semangat jihad yang akhirnyapara pengikutnya dapat menyebarluaskannya.[7]
Sementara itu, alasan-alasan yang menyebabkan Nabi Muhammad di Kota Makkah hanya berfungsi sebagai pemimpin agama adalah:
1.      Nabi Muhammad belum memiliki kekuasaan politik
Pada periode Makkah umat Islam belumlah menjadi masyarakat yang teratur, yang memiliki tatacara hubungan sosial tertentu. Kondisi mereka sangatlah lemah dan terjepit, yang selalu mendapat ancaman dan tindak kekerasan dari kafir Quraisy. Harun Nasution.[8] Ayat-ayat al-Qur’an masih berlangsung terus dan belum membawa ajaran hidup bermasyarakat. Turunya al-Qur’an dengan cara tahap demi tahap adalah kehendak Allah yang maha bijaksana, karena soal waktu merupakan bagian dari terapi kejiwaan, bagian dari proses kehidupan politik bangsa-bangsa dan juga merupakn bagian dari penetapan hukum-hukum yang berlaku.[9]
2.      Nabi Muhammad tidak mempunyai kekuatan ekonomi.
Dipertengahan kedua dari abad ke 6 Masehi, jalan dagang Timur-Barat perpindah ke semenanjung Arabiyah. Makkah yang terletak ditengah-tengah garis perjalanan dagang itu menjadi kota dagang.
3.      Jumlah umat Islam masih sedikit, sehingga mereka hidup sebagai kelompok minoritas.
a.       Periode Dakwah
Setiap periode memiliki tahapan-tahapan sendiri, dengan kekhususannya masing-masing. Yang satu berbeda dengan yang lain.
Periode Mekkah dapat dibagi menjadi tiga tahapan dakwah, yaitu :
·         Tahapan Dakwah islam  secara sembunyi-sembunyi, yang berjalan selama tiga tahun.
·         Tahapan Dakwah islam  secara terang-terangan ditengah penduduk Mekkah, yang dimulai sejak tahun keempat dari nubuwah hingga akhir tahun kesepuluh.
·         Tahapan Dakwah islam diluar Mekkah dan penyebarannya, yang dimulai dari tahun kesepuluh dari nubuwah hingga hijrah ke Madinah.
1.      Tahap pertama (Tiga tahun dakwah Islam secara sembunyi-sembunyi)
Mekkah merupakan sentral agama bangsa Arab. Disana ada peribadatan terhadap Ka’bah dan penyembahan terhadap berhala dan patung-patung yang disucikan seluruh bangsa Arab. Cita-cita untuk memperbaiki keadan mereka tentu bertambah sulit dan berat jika orang yang hendak mengadakan perbaikan jauh dari lingkungan mereka. Hal ini membutuhkan kemauan yang keras yang tidak bisa diguncang musibah dan kesulitan. Maka dalam menghadapi kondisi ini, tindakan yang paling bijaksana adalah memulai dakwah dengan sembunyi-sembunyi, agar penduduk Mekkah tidak kaget karena tiba-tiba menghadapi sesuatu yang menggusarkan mereka.
Pada awal mulanya Rasulullah SAW menampakkan islam kepada orang yang paling dekat dengan beliau. Anggota keluarga dan sahabat-sahabat karib beliau. Beliau menyeru mereka ini kepada islam, juga menyeru kepada siapa pun yang dirasa memiliki kebaikan yang sudah beliau kenal secara baik dan mereka pun mengenal beliau secara baik. Dalam tarikh islam, mereka disebut As-Sabiqunal Awwalun ( yang terdahulu dan yang pertama masuk islam).
Mereka adalah istri beliau, Ummul Mukminin Khadijah binti Khuwailid, pembantu beliau, Zaid bin Haritsah, anak paman beliau, Ali bin Abu Thalib, yang saat itu Ali masih anak-anak dan hidup dalam asuhan beliau, dan sahabat karib beliau,Abu Bakar Ash-Shiddiq.
Abu Bakar yang dikenal kaumnya sebagai seorang laki-laki yang lemah lembut, pengasih dan ramah, dan memiliki akhlak yang mulia bersemangat membantu Rasul mendakwahkan islam. Berkat seruannya, ada beberapa orang yang masuk islam, yaitu:
1.      Utsman bin Affan
2.      Az-Zubair bin Al-Awwan
3. Abdurrahman bin Auf
4. Sa’d bin Abi Waqqash
5. Thalhah bin Ubaidillah
Mereka ini juga termasuk orang-orang yang lebih dahulu masuk islam, kawanan pertama dan fajar islam. Ada juga kawanan lainnya yang termasuk orang-orang yang pertama masuk islam, yaitu :
             1. Bilal bin Rabbah
2.  Abu Salamah bin Abdul Asad
             3. Amir bin Al-Jarrah
4.  Al- Arqam bin Abil Arqam
5. Fathimah bin Al-khattab
6.  Khabbab bin Al-Arrat
6. Dan banyak lagi lainnya

Setelah melihat beberapa kejadian disana-sini, ternyata dakwah islam sudah didengar orang-orang Quraisy pada tahapan ini, sekalipun dakwah itu masih dilakukan secara sembunyi-sembunyi dan perorangan. Namun mereka tidak ambil peduli.
Selama tiga tahun dakwah masih dilakukan secara sembunyi-sembunyi dan perorangan. Selama jangka waktu ini telah terbentuk sekelompok orang-orang mukmin yang senantiasa menguatkan hubungan persaudaraan dan saling bahu-membahu. Penyampaian dakwah terus dilakukan, hingga turun wahyu yang mengharuskan Rasulullah SAW menampakkan dakwah kepada kaumnya. Menjelaskan kebatilan mereka dan menyerang berhala-berhala sesembahan mereka.

2. Tahap Kedua (Dakwah islam secara Terang-Terangan)
Langkah pertama yang dilakukan Rasulullah ialah dengan mengundang kerabat dekat. Beliau mengundang Bani Hasyim dan beberapa orang Bani Al-Muthalib bin Al-Manaf. Beliau menyeru kepada kaumnya kepada Allah dan berserah diri kepada RabbNya. Namun dari sekian banyak yang datang, semua menentang Rasulullah, hanya Abu Thaliblah yang mendukung dan memerintahkan melanjutkan perjuangan Rasul, tetapi Abu Thalib tidak punya pilihan lain untuk meninggalkan agama Bani Abdul Al-Muthalib.
Setelah Nabi SAW merasa yakin terhadap dukungan dan janji Abu Thalib untuk melindunginya dalam menyampaikan wahyu Allah, maka suatu hari beliau berdiri diatas Shafa, lalu berseru :
“ Wahai semua orang!” maka semua orang berkupul memenuhi seruan beliau, lalu beliau mengajak mereka kepada tauhid dan iman kepada risalah beliau serta iman kepada hari akhirat.”
Dari yang hadir disitu, Abu Lahab angkat bicara “ Celakalah engkau untuk selama-lamanya, untuk inikah engkau mengumpulkan kami.”
Lalu turun ayat “ Celakalah kedua tangan Abu Lahab”
Seruan beliau semakin menggema seantero Mekkah, hingga kemudian turun QS. Al-Hijr:94 : “ Maka sampaikanlah olehmu secara terang-terangan segala apa yang diperintahkan (kepadamu) dan berpalinglah dari orang-orang yang musyrik. ”Maka Rasulullah langsung bangkit menyerang berbagai khurafat dan kebohongan syirik. Menyebutkan kedudukan berhala dan hakikatnya yang sama sekali tidak memiliki nilai.
Mekkah berpijar dengan api kemarahan, bergolak dengan keanehan dan pengingkaran, tatkala mereka mendengar suar yang memperlihatkan kesesatan orang-orang musyrik dan para penyembah berhala. Suara itu seakan akan petir yang membelah awan, berkilau, menggelegar dan mengguncang udara yang tadinya tenang. Orang-orang Quraisy bangkit untuk menghadang revolusi yang datang secara tak terduga ini, dan yang dikhawatirkan akan merusak tradisi warisan mereka.
Orang-orang Quraisy bingung, karena sepanjang sejarah nenek moyang mereka dan perjalanan kaumnya, mereka tidak pernah mengetahui bandingan yang seperti itu. Setelah menguras pikiran, tidak ada jalan lain lagi bagi mereka menghadapi orang yang jujur dan dapat dipercayai ini (Muhammad SAW) kecuali mendatangi paman beliau, Abu Thalib. Mereka meminta kepadanya agar menghentikan segala apa pun yang diperbuat anak saudaranya.
Dengan perkataan yang halus dan lemah lembut, Abu thalib menolak permintaan mereka. Maka mereka pun pulang dengan tangan hampa sehingga Rasulullah bisa melanjutkan dakwah, menampakkan agama Allah dan menyeru kepadaNya.
Semenjak penolakan itu, dan orang-orang Quraisy tahu bahwa Muhammad SAW sama sekali tidak menghentikan dakwahnya, maka mereka memeras pikiran dan menyimpulkan untuk membenamkan dakwah ini.
Beberapa cara penghadangan mereka terhadap dakwah Rasulullah SAW, yaitu :
1)      Dengan ejekan dan penghinaan, olok-olok dan penertawaan. Hal ini mereka maksudkan untuk melecehkan orang-orang muslim dan melemahkan kekuatan mental mereka.
2)      Menjelek-jelekkan ajaran beliau, membangkitkan keragu-raguan, menyebarkan anggapan-anggapan yang menyaksikan ajaran-ajaran beliau dan diri beliau.
3)      Melawan Al-Qur’an dengan dongeng orang-orang dahulu dan menyibukkan manusia dengan dongeng-dongeng itu, agar mereka meninggalkan Al-Qur’an.
4)      Menyodorkan beberapa bentuk penawaran, sehingga dengan penawaran itu mereka berusaha untuk mempertemukan islam dan jahiliyah ditengah jalan.
5)      Berbagai macam tekanan dan penyiksaan terhadap pengikut-pengikut Rasulullah SAW.
6)      Pemboikotan secara menyeluruh terhadap pengikut Muhammad SAW.
Dari hari ke hari penyiksaan dan tekanan yang dilancarkan orang-orang Quraisy semakin menjadi-jadi. Hingga Rasulullah menyuruh kaumnya untuk hijrah dan berdakwah keluar Mekkah.
3. Tahap Ketiga (Dakwah islam diluar Mekkah)
Karena keadaan semakin mendesak, tekanan disana sini terhadap pengikutnya, Rasulullah memerintahkan agar kaumnya hijrah dan mendakwahkan islam ke Habasyah. Rasulullah tahu bahwa raja yang berkuasa adalah seorang raja yang yang adil, tak bakal ada seorang pun yang teraniaya disisinya.
Pada bulan Rajab tahun kelima dari nubuwah, sekelompok sahabat hijrah yang pertama kali ke Habasyah, terdiri dari dua belas orang laki-laki dan empat orang wanita, yang dipimpin Utsman bin Affan.
Karena siksaan dan penindasan yang ditimpakan orang-orang Quraisy semakin menjadi-jadi, Nabi SAW tidak melihat cara lain kecuali memerintahkan mereka untuk hijrah untuk kedua kalinya. Kali ini hijrah berjumlah delapan puluh tiga orang laki-laki dan delapan belas wanita. Sementara itu, Rasulullah SAW tetap berada di Mekkah untuk terus mendakwahkan Agama Allah buat penduduk Mekkah.
Banyak kejadian yang terjadi setelah Rasulullah menetapkan perintah kepada pengikutnya untuk hijrah ke Habasyah. Dari keislamannya Umar bin Khattab dan Hamzah bin Abdul Muthalib, yang membuat islam semakin kuat, hingga keadaan duka hati Rasulullah atas meninggalnya paman beliau Abu Thalib dan Istri beliau Khadijah binti Khuwailid.
Pada tahun kesepuluh dari nubuwah, Rasulullah SAW pergi ke Thaif, beliau pergi dengan berjalan kaki. Dengan didampingi pembantunya Zaid bin Haritsah, beliau mengajak penduduk setiap kabilah yang ia lalui kepada islam. Namun tak satu pun yang memenuhinya.
Sesampainya di Thaif, beliau menyeru agama Allah kepada pemimpin Bani Tsaqif. Namun semua menolaknya dan mencaci maki beliau sambil melempari batu kearah beliau. Pembantu Nabi SAW, Zaid senantiasa melindungi beliau.
Saat musim haji tiba, beliau kembali ke Mekkah dan berdakwah kepada orang-orang yang melaksanakan haji dari segala penduduk diluar Mekkah. Agama Allah mereka bawa ke negerinya. Hingga tersebar luaslah islam di jazirah Arab. Diantaranya yaitu :
1)      Suwaid bin Shamit, Dia adalah seorang penyair yang cerdas dari penduduk Yatsrib yang juga di juluki Al-Kamil oleh kaumnya.
2)      Iyas bin Mu’adz, Dia seorang pemuda belia dari Yatsrib.
3)      Abu Dzarr Al-Ghifary, Dia termasuk penduduk pinggiran Yatsrib.
4)      Thufail bin Amr Ad-Dausy, Dia seorang Penyair cerdas dan pemimpin Kabilah Daus.
5)      Dhimad Al-Azdy, Dia berasal dari Azd Syanu’ah dari Yaman.
Dalam beberapa waktu, sampailah islam ke penjuru jazirah Arab, hingga ke Madinah, islam di Madinah disambut baik oleh penduduk. Dakwah berhasil di bumi Yatsrib ini. Semua ketentuan Allah membuat islam semakin bercahaya dan bersinar.
C.    Periode Madinah: Nabi Muhammad sebagai Pemimpin Agama dan Pemerintahan
Periode madinah bagi Nabi adalah masa ketika beliauberada di kota Madinah sejak hijrah  sampai beliau wafat. Masa antara hijriah Nabi pada hari jum’at tanggal 12 Rabiul Awwal 1 H (tahun ke-13 dari kenabian)sampai beliau wafat pada hari Senin 12 Rabiul Awwal 11 H/8 Juni 6232 M adalah 10 tahun. Hijrah Nabi Muhammad dari Mekkah ke Madinah, bukanlah karena beliau merasa takut terhadap ancaman orang-orang Quraisy, tetapi sebagai strategi perkembangan islam.
Ada beberapa faktor yang menunjukan bahwa Madinah sebagai alternatif terpilih dalam rangka mengembangkan Islam secara modinal dan universal, diantaranya:
1.      Madinah tanahnya subur, sehingga memungkinkan secara finansial dan materi harta umat islamnya menjadi instrukturnya.
2.      Adanya dukungan sahabat penolong (Anshar) yang secara meyakinkan siap berkorban jiwa dan raga mereka demi pengembangan islam
3.      Adanya hasrat kuat suku-suku Aus dan Khazraj yang merupakan mayoritas madinah, yang selama ini berperang saling memusnahkan satu sama lain, ingin berdamai.
Pada periode madinah, Nabi berperan sebagai  kepala agama dan kepala pemerintahan. Peran kepala agama telah beliau sandang sejak diangkat menjadi Rasul Allah ketika menerima wahyu yang pertama di gua hira Mekah. Adapun proses pengangkatan Nabi sebagai kepala negara, diawali dari pemerintahan kesediaan oleh para wakil suku-suku Aus dan Khazaj yang berjumlah 73 orang dalam berbaiat aqabah II yang pada akhirnya diaklamasikan kepada semua warga Madinah bahwa Dia adalah hakam mereka.
Berkenaan di fungisikan sebagai hakam, secara teoritis, sama dengan menjadikannya sebagai embrio kepala negara. Pada masyarakat yang sederhana, nilai-nilai kekuasaan yang legislatif, yudikatif, dan eksekutif. Langkah-langkah Nabi Muhammad saw. Dalam membangun masyarakat islam di Yastrib adalah:[10]
1)      Mengubah nama Yastrib menjadi madinah (madinat al-Rasul, madinat al-nabi, madinat atau madinat al-munawwarat) yang menggambarkan cita-cita Nabi membentuk sebuah masyarakat yang tertib , maju, dan peradaban.
2)      Mendirikan mesjid, selain tempat shalat juga menjadi sarana musyawarah untuk mempersatukan kaum muslimin dan merundingkan masalah-masalah yang dihadapinya serta sebagai pusat kegiatan pemerintahan.
3)      Membentuk kegiatan persaudaraan (mu’akhat), yaitu mempersaudarakan kaum muhajirin (orang-orang yang hijrah dari mekkah ke Yastrib) dengan Anshar (orang-orang yang menerima dan membantu kepindahan muhajirin di Yastrib) yang diharapkan dapat mengikat kaum muslimin dala satu persaudaraan dan kekeluargaan.
4)      Membentuk persahabatan dengan pihak-pihak yang lain yang tidak beragama islam.
5)      Memebentuk pasukan tentara untuk mengantisipasi ganguan-ganguan yang dilakukan oleh musuh.
Menurut Munawir Sadzali,[11] belum cukup dua tahun Nabi tinggal di Madinah, beliau mengumandangkan Piagam Madinah yang mengatur kehidupan dan hubungan antara komunitas-komunitas yang merupakan komponen-komponen masyarakat yang majemuk di Madinah. Piagam Madinah tersebut dianggap oleh para pakar ilmu politik islam sebagai konstitusi atau undang-undang dasar bagi negara isla pertama yang didirikan oleh Nabi Muhammad saw. di Madinah. Dengan demikian, Nabi bukan saja sebagai kepala pemerintahan, namun beliau juga sebagai pendiri negara Islam pertama di muka bumi ini.
Menurut Munawir Sadzali, batu-batu dasar yang telah diletakan oleh Piagam Madinah sebagai landasan bagi kehidupan bernegara untuk masyarakat majemuk di Madinah adalah: 1. Semua pemeluk islam, meskipun berasal dari banyak suku, tetapi merupakan satu komunitas. 2. Hubungan antara sesama anggota komunitas islam dan antara anggota komunitas islam dengan anggota komunitas-komunitas lain didasarkan atas prinsip-prinsip: (a) Bertetengga baik; (b) Saling membantu dalam menghadapi musuh bersama; (c) Membela mereka yang teraniaya; (d) Saling menasehati; dan (e) Menghormati kebebasan beragama.
Sementara itu, W.Montgomery Watt dalam Jaih Mubarok menyatakan bahwa bagian-bagian Piagam Madinah yang terpenting yang menggambarkan bentuk Negara Madinah adalah: (a) orang-orang beriman dan yang mengikuti mereka adalah suatu komunitas yang utuh (pasal 1); (b) setiap suku atau bagian dri suku masyarakat Madinah bertanggung jawab terhadap harta rampasan atau uang tebusan atas nama masing-masing anggotanya (pasal 2-11); (c) setiap anggota masyarakat diharapkan menunjukan kekompakan dalam menghadapi tindakan kriminal sekalipun untuk keluarga terdekatnya, yang tindakan itu bersangkutan dengan anggota masyarakat lain (pasal 13 dan 21); (d) setiap anggota masyarakat diharapkan menunjukan kekompakan dalam menghadapi orang-orng yang tidak beriman, baik dalam situasi damai maupun perang (pasal 14, 17, 19, 44), dan sohadlidaritas dalam pemberian perlindungan terhadap tetangga (pasal 15); dan (e) orang yahudi yang berasal dari berbagai kelompok masyarakat adalah miliknya dan mereka harus menjaga agama mereka sendiri; mereka dan umat islam harus saling membantu, termasuk militer apabila diperlukan (pasal 24-35, 37, 38, dan 46).
Dengan demikian, Madinah al-Munawwarah secara teoritis telah memenuhi syarat untuk dikategorikan sebagai sebuah Negara karena telah memenuhi unsur-unsur negara. Adapun unsur-unsur negara yang ada pada negara Madinah adalah: 1). Adanya dimensi wilayah Madinah, 2). Adanya dimensi penduduk Madinah yang terdiri dari suku Aus, Khazraj, Anshar, Muhajirin, Yahudi, Nashrani, dll. 3). Adanya Muhammad sebagai penguasa (Kepala Negara), dan 4). Adanya Piagam Madinah yang di jadikan undang-undang di samping al-Qur’an dan sunnah rasul.
Negara Madinah telah memenuhi syarat untuk dikatakan sebagai negara yang berdaulat karena memiliki beberapa sifat Negara yang berdaulat.
a.       Bersifat memaksa, artinya agar negara dapat tertib dan aman, negara berkuasa untuk menggunakan kekerasan secara fisik, sekaligus agar peraturan dapat ditaati sehingga tidak menimbulkan anarki.
b.      Bersifat monopoli, artinya dalam menetapkan rencana-rencana untuk mencapai tujuan bersama dari masyarakat, Negara mempunyai hak monopoli.
c.       Bersikap mencakup semua, artinya semua aturan diberlakukan untuk semua rakyat tanpa kecuali.
Negara Madinah mempunyai fungsi sebagai berikut:
1)      Perlindungan konstitusional. Selain syari’at islam melindungi hak-hak individu seperti: hak hidup, hak kemerdekaan, hak mencari pengetahuan, ha katas penghargaan, hak mempunyai milik, juga menentukan prosedur-prosedur untuk memperoleh perlindungan atas hak-hak tersebut juga syari’at memberikan perlindungan hak-hak sosial.
2)      Independensi dlam membuat keputusan. Nabi secara pribadi danpara sahabatnya yang mewakili badan/lembaga yudikatif, secara sadar terhadap anaknya sendiri, kalau memang dia mencuri, maka akan dipotong pula tangannya.
3)      Diberikan kebebasan bagi rakyat dalam mengeluarkan pendapat. Barang kali tidak ada satupun agama di dunia ini yang memberi kebebasan terhadap rakyatnya untuk menyampaikan pendapat selain islam.
Nabi mempunyai sifat-sifat yang sangat layak untuk menduduki jabatan kepala Negara diantaranya:
1)      Keilmuan. Dalam hal keilmuan, nabi mempunyai sumber ilmu yang menjadikan sangat cakap dalam menjalankan roda pemerintahannya sebagaimana tertera dalam Q.S annisa ayat:113
2)      Kecakapan. Mengorganisasikan seluruh teori-teori yang ada. Ini njuga di sebabkan oleh adanya posisi nabi yang secara khusus di jadikan oleh Tuhan sebagai prototipe/foto model mengenai bagaimana meragakan sebuah ayat suci Al-Quran.
3)      Sikap mental yang mulia. Nabi adalah manusia yang banyak di puji oleh kawan maupun lawan, semua itu karena muhammad adalah orang yang sangat mencintai dan menyayangi makhluk Tuhan bukan hanya manusia, sekaligus dia adalah manusia yang sangat santun lagi lemah lembut pada musuh amanah dalam perjanjian, benar dalam kata dan perbuatan.
1.      Strategi Dakwah Nabi Muhammad SAW. Periode Madinah
Pokok-pokok pikiran yang dijadikan strategi dakwah Rasulullah SAW periode Madinah adalah:
  1. Berdakwah dimulai dari diri sendiri, maksudnya sebelum mengajak orang lain meyakini kebenaran Islam dan mengamalkan ajarannya, maka terlebih dahulu orang yang berdakwah  itu harus meyakini kebenaran Islam dan mengamalkan ajarannya.
  2. Cara (metode) melaksanakan dakwah sesuai dengan petunjuk Allah SWT dalam Surah An-Nahl ayat 125.
Artinya: “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang  baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. An-Nahl, 16: 125).
c.       Berdakwah itu hukumnya wajib bagi Rasulullah SAW dan umatnya sesuai dengan petunjuk Allah SWT dalam Surah Ali Imran, 3: 104.
Artinya: “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada  kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.” (QS. Ali Imran, 3: 104).
d.      Berdakwah dilandasi dengan niat ikhlas karena Allah SWT semata, bukan dengan untuk memperoleh popularitas dan keuntungan yang bersifat materi.
Umat Islam dalam melaksanakan tugas dakwahnya, selain harus menerapkan pokok-pokok pikiran yang dijadikan sebagai strategi dakwah Rasulullah SAW, juga hendaknya meneladani strategi Rasulullah SAW dalam membentuk masyarakat Islam atau masyarakat madani di Madinah.
Masyarakat Islam atau masyarakat madani adalah masyarakat yang menerapkan ajaran Islam pada seluruh aspek kehidupan, sehingga terwujud kehidupan bermasyarakat yang baldatun tayyibatun wa rabbun ghafur, yakni masyarakat yang baik, aman, tenteram, damai, adil, dan makmur di bawah naungan ridha Allah SWT dan ampunan-Nya.[12]
Usaha-usaha Rasulullah SAW dalam mewujudkan masyarakat Islam seperti tersebut adalah:[13]
1.      Membangun Masjid
Masjid yang pertama kali dibangun oleh Rasulullah SAW di Madinah ialah Masjid Quba, yang berjarak ± 5 km, sebelah barat daya Madinah. Masjid Quba dibangun pada tanggal 12 Rabiul Awal tahun pertama hijrah (20 September 622 M).
Setelah Rasulullah SAW menetap di Madinah, pada setiap hari Sabtu, beliau mengunjungi Masjid Quba untuk salat berjamaah dan menyampaikan dakwah Islam.
Masjid kedua yang dibangun oleh Rasulullah SAW dan para sahabatnya adalah Masjid Nabawi di Madinah. Masjid ini dibangun secara gotong-royong oleh kaum Muhajirin dan Ansar, yang peletakan batu pertamanya dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW dan peletakan batu kedua, ketiga, keempat dan kelima dilaksanakan oleh para sahabat terkemuka yakni: Abu Bakar r.a., Umar bin Khatab r.a., Utsman bin Affan r.a. dan Ali bin Abu Thalib r.a.
Mengenai fungsi atau peranan masjid pada masa Rasulullah SAW adalah sebagai berikut:
a.       Masjid sebagai sarana pembinaan umat Islam di bidang akidah, ibadah, dan akhlak.
  1. Masjid merupakan sarana ibadah, khususnya shalat lima waktu, shalat Jumat, shalat Tarawih, shalat Idul Fitri dan Idul Adha.
  2. Masjid merupakan tempat belajar dan mengajar tentang agama Islam yang bersumber kepada Al-Qur’an dan Hadis.
  3. Masjid sebagai tempat pertemuan untuk menjalin hubungan persaudaraan sesama Muslim (ukhuwah Islamiah) demi terwujudnya persatuan.
  4. Menjadikan masjid sebagai sarana kegiatan sosial. Misalnya sebagai tempat penampungan zakat, infak, dan sedekah dan menyalurkannya kepada yang berhak menerimanya, terutama para fakir miskin dan anak-anak yatim terlantar.
  5. Menjadikan halaman masjid dengan memasang tenda, sebagai tempat pengobatan para penderita sakit, terutama para pejuang Islam yang menderita luka akibat perang melawan orang-orang kafir.
2.      Mempersaudarakan Kaum Muhajirin dan Ansar
Muhajirin adalah para sahabat Rasulullah SAW penduduk Mekah yang berhijrah ke Madinah. Ansar adalah para sahabat Rasulullah SAW penduduk asli Madinah yang memberikan pertolongan kepada kaum Muhajirin.
Rasulullah SAW bermusyawarah dengan Abu Bakar r.a. dan Umar bin Khatab tentang mempersaudarakan antara Muhajirin dan Ansar, sehingga terwujud persatuan yang tangguh. Hasil musyawarah memutuskan agar setiap orang Muhajirin mencari dan mengangkat seorang dari kalangan Ansar menjadi saudaranya senasab (seketurunan), dengan niat ikhlas karena Allah SWT. Demikian juga sebaliknya orang Ansar.
Rasulullah SAW memberi contoh dengan mengajak Ali bin Abi Thalib sebagai saudaranya. Apa yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW dicontoh oleh seluruh sahabat misalnya:[14]
a.       Hamzah bin Abdul Muthalib, paman Rasulullah SAW, pahlawan Islam yang pemberani bersaudara dengan Zaid bin Haritsah, mantan hamba sahaya, yang kemudian dijadikan anak angkat Rasulullah SAW.
  1. Abu Bakar ash-Shiddiq, bersaudara dengan Kharizah bin Zaid.
  2. Umar bin Khattab bersaudara denga Itban bin Malik al-Khazraji (Ansar).
  3. Abdurrahman bin Auf bersaudara dengan Sa’ad bin Rabi (Ansar).
Demikianlah seterusnya setiap orang Muhajirin dan orang Ansar, termasuk Muhajirin setelah hijrahnya Rasulullah SAW, dipersaudarakan secara sepasang- sepasang, layaknya seperti saudara senasab.
Persaudaraan secara sepasang–sepasang seperti tersebut, ternyata membuahkan hasil sesama Muhajirin dan Ansar terjalin hubungan persaudaraan yang lebih baik. Mereka saling mencintai, saling menyayangi, hormat-menghormati, dan tolong-menolong dalam kebaikan dan ketakwaan.
Kaum Ansar dengan ikhlas memberikan pertolongan kepada kaum Muhajirin berupa tempat tinggal, sandang-pangan, dan lain-lain yang diperlukan. Namun kaum Muhajirin tidak diam berpangku tangan, mereka berusaha sekuat tenaga untuk mencari nafkah agar dapat hidup mandiri. Misalnya, Abdurrahman bin Auf menjadi pedagang, Abu Bakar, Umar bin Khattab dan Ali bin Abu Thalib menjadi petani kurma.
Kaum Muhajirin yang belum mempunyai tempat tinggal dan mata pencaharian oleh Rasulullah SAW ditempatkan di bagian Masjid Nabawi yang beratap yang disebut Suffa dan mereka dinamakan Ahlus Suffa (penghuni Suffa). Kebutuhan-kebutuhan mereka dicukupi oleh kaum Muhajirin dan kaum Ansar secara bergotong-royong. Kegiatan Ahlus Suffa itu antara lain mempelajari dan menghafal Al-Qur’an dan Hadis, kemudian diajarkannya kepada yang lain. Sedangkan apabila terjadi perang anatara kaum Muslimin dengan kaum kafir, mereka ikut berperang.
1.    Perjanjian dengan masyarakat Yahudi Madinah
Pada waktu Rasulullah SAW menetap di Madinah, penduduknya terdiri dari tiga golongan, yaitu umat Islam, umat Yahudi (Bani Qainuqa, Bani Nazir dan Bani Quraizah) dan orang-orang Arab yang belum masuk Islam. Agar stabilitas masyarakat dapat diwujudkan, Nabi Muhammad SAW mengadakan ikatan perjanjian dengan mereka. Sebuah piagam yang menjamin kebebasan beragama orang-orang Yahudi sebagai suatu komunitas dikeluarkan. Setiap golongan masyarakat memiliki hak tertentu dalam bidang politik dan keagamaan. Kemerdekaan beragama dijamin dan seluruh anggota masyarakat berkewajiban mempertahankan keamanan negeri itu dari serangan luar.
Piagam ini mestilah dipatuhi oleh semua penduduk Madinah yang muslim atau bukan Muslim. Strategi ini telah menjadikan Madinah sebagai model Negara Islam yang adil, membangun serta digrandungi oleh musuh-musuh Islam. Piagam ini dikenal dengan sebutan Piagam Madinah.
Menurut Ibnu Hisyam, Rasulullah SAW membuat perjanjian dengan penduduk Madinah non-Islam dan tertuang dalam Piagam Madinah. Piagam Madinah itu antara lain berisi:[15]
a.       Setiap golongan dari ketiga golongan penduduk Madinah memiliki hak pribadi, keagamaan dan politik. Sehubungan dengan itu setiap golongan penduduk Madinah berhak menjatuhkan hukuman kepada orang yang membuat kerusakan dan memberi keamanan kepada orang yang mematuhi peraturan.
  1. Setiap individu penduduk Madinah mendapat jaminan kebebasan beragama.
  2. Seluruh penduduk kota Madinah yang terdiri dari kaum Muslimin, kaum Yahudi dan orang-orang Arab yang belum masuk Islam sesama mereka hendaknya saling membantu dalam bidang moril dan materiil. Apabila Madinah diserang musuh, maka seluruh penduduk Madinah harus bantu-membantu dalam mempertahankan kota Madinah.
  3. Rasulullah SAW adalah pemimpin seluruh penduduk Madinah. Segala perkara dan perselisihan besar yang terjadi di Madinah harus diajukan kepada Rasulullah SAW untuk diadili sebagaimana mestinya.
2.    Pembangunan pranata sosial dan pemerintahan.
Pada saat Nabi Muhammad SAW tiba di Madinah, masyarakatnya terbagi menjadi berbagai kelompok besar, yaitu kelompok Muhajirin dan kelompok Anshar, Yahudi, Nasrani, dan penyembah berhala.[16] Pada awalnya, mereka semua menerima kedatangan Nabi dan umat Islam. Namun setelah masyarakat muslim berkembang menjadi besar dan berkuasa, mereka mulai menaruh rasa dendam dan tidak suka.
Untuk mengatasi berbagai persoalan tersebut, Nabi saw mencoba menata sistem sosial agar mereka dapat hidup damai dan tenteram. Untuk kalangan umat Islam, Nabi saw telah mempersaudarakan antara Muhajirin dan Anshar. Sementara untuk kalangan non muslim, mereka diikat dengan peraturan yang dirancang Nabi dan umat Islam yang tertuang di dalam Piagam Madinah.
Pada masa Rasulullah, penduduk Madinah mayoritas sudah beragam Islam, sehingga masyarakat Islam sudah terbentuk, maka adanya pemerintahan Islam merupakan keharusan. Rasulullah SAW selain sebagai seorang Nabi dan Rasul, juga tampil sebagai seorang Kepala Negara (khalifah).
Sebagai Kepala Negara, Rasulullah SAW telah meletakkan dasar bagi setiap sistem politik Islam, yakni musyawarah. Melalui musyawarah, umat Islam dapat mengangkat wakil-wakil rakyat dan kepala pemerintahan, serta membuat peraturan-peraturan yang harus ditaati oleh seluruh rakyatnya. Dengan syarat, peraturan-peraturan itu tidak menyimpang dari tuntutan Al-Qur’an dan Hadis.
D.  Peperangan Pada Masa Nabi Muhammad

1.      Perang Badar Al-Kubra (2 H)
Perang Badar terjadi di Lembah Badar, 125 km selatan Madinah. Perang Badar merupakan puncak pertikaian antara kaum muslim Madinah dan musyrikin Quraisy Mekah. Peperangan ini disebabkan oleh tindakan pengusiran dan perampasan harta kaum muslim yang dilakukan oleh musyrikin Quraisy.
perang pertama yang dilakukan kaum muslimin. Sekaligus peristiwa paling penting bagi sejarah perkembangan da’wah Islam. Meski dengan kekuatan yang jauh lebih kecil dibanding kekuatan musuh, dengan pertolongan Allah, kaum muslimin berhasil menang menaklukkan pasukan kafir.
Rasulullah SAW berngkat bersama tigaratusan orang sahabat dalam perang Badar. Ada yang mengatakan mereka berjumlah tiga ratus tiga belas, tiga ratus empat belas, dan tiga ratus tujuh belas orang. Mereka kira-kira terdiri dari 82 atau 86 Muhajirin serta 61 kabilah Aus dan 170 kabilah Khazraj. Kaum muslimin memang tidak berkumpul dalam jumlah besar dan tidak melakukan persiapan sempurna. mereka hanya memiliki dua ekor kuda, milik Zubair bin Awwam dan Miqdad bin Aswad al-Kindi. Di samping itu mereka hanya membawa tujuh puluh onta yang dikendarai secara bergantian, setiap onta untuk dua atau tiga orang. Rasulullah saw sendiri bergantian mengendarai onta dengan Ali dan Murtsid bin Abi Murtsid Al-Ghanawi.
Sementara jumlah pasukan kafir Quraisy sepuluh kali lipat. Tak kurang seribu tiga ratus prajurit. Dengan seratus kuda dan enam ratus perisai, serta onta yang jumlahnya tak diketahui secara pasti, dan dipimpin langsung oleh Abu Jahal bin Hisyam. Sedangkan pendanaan perang ditanggung langsung oleh sembilan pemimpin Quraisy. Setiap hari, mereka menyembelih sekitar sembilan atau sepuluh ekor unta.
Akhir pertempuran pasukan Muslimin memenangkan peperangan Badar Al-Kubra ini. Terdapat sekitar 68 orang tawanan perang (Suku Quraish) yang diperintahkan oleh Rasulullah SAW untuk diperlakukan dengan baik, sabdanya SAW: “Perlakukanlah tawanan itu dengan baik.” Sebahagian tawanan menebus kebebasan mereka dengan membayar antara seribu Dirham sampai empat ribu Dirham karena mereka orang kaya. Sementara ada sebahagian tawanan yang dibebaskan tanpa membayar tebusan karena mereka tergolong miskin. Dan ada sebahagian lagi yang dibebani mengajar anak-anak kaum Muslimin sebelum dibebaskan karena mereka adalah di antara orang-orang yang terpelajar.

2.      Perang Uhud (3 H)
Kekalahan di Badar menanamkan dendam mendalam di hati kaum kafir Quraisy. Mereka pun keluar ke bukit Uhud hendak menyerbu kaum Muslimin. Pasukan Islam berangkat dengan kekuatan sekitar seribu orang prajurit, seratus diantaranya menggunakan baju besi, dan lima puluh lainnya menunggang kuda.
Di sebuah tempat bernama asy-Syauth, kaum muslimin melakukan shalat subuh. Tempat ini sangat dekat dengan musuh sehingga mereka bisa dengan mudah saling melihat. Ternyata pasukan musuh berjumlah sangat banyak. Mereka berkekuatan tiga ribu tentara, terdiri dari orang-orang Quraisy dan sekutunya. Mereka juga memiliki tiga ribu onta, dua ratus ekor kuda dan tujuh ratus buah baju besi.
Pada kondisi sulit itu, Abdullah bin Ubay, sang munafiq, berkhianat dengan membujuk kaum muslimin untuk kembali ke Madinah. Sepertiga pasukan, atau sekitar tiga ratus prajurit akhirnya mundur. Abdullah bin Ubay mengatakan, “Kami tidak tahu, mengapa kami membunuh diri kami sendiri?”
Setelah kemunduran tiga ratus prajurit tersebut, Rasulullah melakukan konsolidasi dengan sisa pasukan yang jumlahnya sekitar tujuh ratus prrajurit untuk melanjutkan perang. Allah memberi mereka kemenangan, meski awalnya sempat kalah.

3.      Perang Khondak (5 H)
Lokasi Perang Khandaq adalah di sekitar kota Madinah bagian utara. Perang ini juga dikenal sebagai Perang Ahzab (Perang Gabungan). Perang Khandaq melibatkan kabilah Arab dan Yahudi yang tidak senang kepada Nabi Muhammad SAW. Mereka bekerjasama melawan Nabi SAW. Di samping itu, orang Yahudi juga mencari dukungan kabilah Gatafan yang terdiri dari Qais Ailan, Bani Fazara, Asyja', Bani Sulaim, Bani Sa'ad dan Ka'ab bin Asad. Usaha pemimpin Yahudi, Huyay bin Akhtab, membuahkan hasil. Pasukannya berangkat ke Madinah untuk menyerang kaum muslim. Berita penyerangan itu didengar oleh Nabi Muhammad SAW. Kaum muslim segera menyiapkan strategi perang yang tepat untuk menghasapo pasukan musuh. Salman al-Farisi, sahabat Nabi SAW yang mempunyai banyak pengalaman tentang seluk beluk perang, mengusulkan untuk membangun sistem pertahanan parit (Khandaq). Ia menyarankan agar menggali parit di perbatasan kota Madinah, dengan demikian gerakan pasukman musuh akan terhambat oleh parit tersebut. Usaha ini ternyata berhasil menghambat pasukan musuh.
4.      Perang Mu’tah
Perang Mu’tah merupakan pendahuluan dan jalan pembuka untuk menaklukkan negeri-negeri Nasrani. Pemicu perang Mu’tah adalah pembunuhan utusan Rasulullah bernama al-Harits bin Umair yang diperintahkan menyampaikan surat kepada pemimpin Bashra. Al-Harits dicegat oleh Syurahbil bin Amr, seorang gubernur wilayah Balqa di Syam, ditangkap dan dipenggal lehemya. Untuk perang ini, Rasulullah mempersiapkan pasukan berkekuatan tiga ribu prajurit. Inilah pasukan Islam terbesar pada waktu itu.
Mereka bergerak ke arah utara dan beristirahat di Mu’an. Saat itulah mereka memperoleh informasi bahwa Heraklius telah berada di salah satu bagian wilayah Balqa dengan kekuatan sekitar seratus ribu prajurit Romawi. Mereka bahkan mendapat bantuan dari pasukan Lakhm, Judzam, Balqin dan Bahra kurang lebih seratus ribu prajurit. Jadi total kekuatan mereka adalah dua ratus ribu prajurit.














BAB III
PENUTUP
A.  Kesimpulan
Nabi Muhammad lahir pada hari Senin tanggal 12 Rabia’ul Awal tahun gajah yang bertepatan pada tanggal 20 April 570 M. Ayahnya bernama Abdullah bin Abdul Muthalib, seorang suku Quraisy yang besar pengaruhnya, dan Ibunya bernama Aminah binti Wahab dari Bani Zuhrah. Pada saat Nabi Muhammad berusia 25 tahun, beliau menikah dengan Siti Khadijah yang berusia 40 tahun. Pernikahannya dengan Khadijah melahirkan 6 orang anak.
Pada Periode Mekkah Nabi Muhammad sebagai pemimpin agama dan Beliau melakukan dakwah, 3 tahun secara sembunyi-sembunyi, secara terang-terangan, dan terakhir melakukan dakwah di luar Mekkah. Dan pada Periode Madinah Nabi Muhammad sebagai Pemimpin Agama dan Pemerintahan.
Beliau hijerah ke Yatsrib pada hari jum’at tanggal 12 Rabi’ul Awwal 1 H (tahun ke 13 dari kenabian) adalah 13 tahun 6 bulan. Masa antara hijriah Nabi pada hari jum’at tanggal 12 Rabiul Awwal 1 H (tahun ke-13 dari kenabian)sampai beliau wafat pada hari Senin 12 Rabiul Awwal 11 H/8 Juni 6232 M adalah 10 tahun.

B.  Saran
Kami selaku penyusun makalah yang berjudul “Pada Masa Nabi Muhammad” mohon kepada para pembaca, Dosen pembimbing, dan teman-teman Mahasiswa untuk memberikan saran, kritik atau masukan yang bersifat membangun demi tersusunnya makalah yang secara sempurna agar pembuatan makalah selanjutnya sempurna, karena kami yakin dengan kelemahan dan kekurangan pengetahuan kami tentang penyusunan makalah ini jauh dari kesempurnaan.


DAFTAR PUSTAKA
Ratu suntiah, M.Ag. dkk. 2010. Sejarah Peradaban Islam. Bandung: Insan Mandiri.
Dr. Badri Yatim, M.A. 2008. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Raja Grafindo.
Dedy Supriyadi, MA. 2008. Sejarah Peradaban Islam. Bandung: Pustaka Setia.
mhttp://sejarah.kompasiana.com/2013/02/13/sejarah-peradaban-islam-pada-masa-rasulullah-saw-533931.htmlaupun Madinah.
Rabu, 26 Februari  2010 14.26
http://zhye.wordpress.com/2009/07/06/sejarah-dakwah-rasulullah-saw-periode-mekah/
Rabu, 26 Februari 2010 14.40
Rabu, 26 Februari 14.52
Rabu, 26 Februari  2014 14.50




[1] M. Dawam Raharjo. 1990. Dalam kata pengantar “Sirrah Muhammad Rasulullah suatu Penafsiran Baru ”. Bandung: Mizan, h. 16
[2] Ensiklopedia Islam, Op. Cit., h. 261. Pendapat lain ada yang menyatakan bahwa Siti Aminah meninggal ketika Nabi berusia empat tahun, lihat. Kantor Bimbingan, Op.cit., h. 14.
[3]Depdikbud. 1989. Kamus besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, h. 684.
[4] Harun Nasution. 1984. Islam di Tinjau dari Berbagai Aspeknya. JILID 1. Jakarta: UI-Press, 9.
[5] Ahmad Syalabi, Op. Cit., h. 84.
[6]Al-Ghazali, Muhammad. tt. Fiqhu al-sirah. Terj. Abu Laila. Bandung: Al-Maarif, h. 43.
[7] W. Montgomery Watt. 1969. Muhammad Prophet and Statesman. Cep. 12. London: Oxford University Press, h. 56.
[8] Harun Nasution. 1986. Akal dan Wahyu dalam Islam. Cet. 2. Jakarta: UI-Press, h. 27.
[9] Al-Ghazali, Muhammad, Ibid.

[10]Jain Mubarak. 2004. Sejarah peradaban Islam. Bandung: Pustaka Bani Quraisy, h. 29-30.
[11]Munawar Sadzali. 1993. Islam dan Tata Negara. Jakarta: UI Press, h. 10-15.


[13] Murodi, Sejarah Kebudayaan Islam, Semarang: PT Karya Toha Putra, 2009, hal. 18.
[14] Ibid, hal. 19.
[15] Samsul Munir, Op. Cit, hal. 69.
[16] Murodi, Loc. Cit, hal. 20.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar