PENGARUH EPISTEMOLOGI PENDIDIKAN BARAT
TERHADAP PENDIDIKAN ISLAM DAN METODE EPISTEMOLOGI PENDIDIKAN ISLAM
Nurhidayah (1132010051)
Manajemen Pendidikan Islam
UIN SGD Bandung
Jl. A.
H. Nasution, Cibiru, Bandung.
ABSTRAK
Tulisan ini dibuat untuk mencari tahu
tentang metode atau cara mendapatkan ilmu dalam pendidikan islam, atau mencari
asal pengetahuan, sumber-sumber pengetahuan, manfaat dan sahihnya pengetahuan
dalam pendidikan islam. Dalam pendidikan islam ada cara mendapatkan ilmu dengan
mengambil dari Al-Quran dan As-Sunnah. Namun dalam kenyataan pendidikan islam
saat ini, tidak semuanya bersumber dari Al-Quran dan As-Sunnah melainkan
teori-teori dari barat digunakan pula dalam mengambil sumber belajar.
Pendidikan Islam saat ini masih menganut epistemologi barat, meskipun begitu
beberapa para pemikir Islam sedang gencar melakukan islamisasi ilmu
pengetahuan. Metode yang digunakan dalam penulisan ini adalah metode kajian
pustaka. Pemikiran teologi yang menjadi landasan tulisan ini adalah pemikiran Mujamil
Qomar yang memungkinkan adanya metode memproses pengetahuan tentang pendidikan
Islam atau metode epistemologi pendidikan Islam, yang memiliki lima macam
bentuk metode yaitu: metode rasional (manhaj ’aqli), metode intuitif (manhaj
zawqi), metode dialogis (manhaj jadali), metode komparatif (manhaj
muqarani), dan metode kritik (manhaj naqdi).
Kata Kunci: Pendidikan Islam, Epistimologi, Metode, Pengaruh
PENDAHULUAN
Epistemologi adalah suatu cabang filsafat
yang bersangkut paut dengan teori pengetahuan. Istilah epistemologi
berasal dari bahasa Yunani, yang terdiri
dari dua kata, yaitu episteme (pengetahuan) dan logos (kata, pikiran,
percakapan, atau cara). Jadi, epistemologi berarti kata, pikiran, percakapan
tentang pengetahuan atau cara berpengetahuan. (Dian)
Epistomologi lazimnya disebut teori
pengetahuan secara umum membicarakan
menegenai sumber-sumber, karakteristik dan kebenaran pengetahuan. Persoalan
epistemologi (teori pengetahuan) berkaitan erat dengan persoalan
metafisika. Bedanya, persoalan epistemologi berpusat pada: problem
asal pengetahuah? Apakah sumber-sumber pengetahuan? Darimana pengetahuan yang
benar, dan bagaimana kita dapat mengetahui? Problem penampilan, apakah yang
menjadi kartakteristik pengetahuan? Apakah dunia riil di luar akal, apabila ada
dapatkah diketahui? Problem mencoba kebenaran, bagaimana membedakan antara
kebenaran dan kekeliruan.(Fuad Ihsan, 2010: 42-43).
Landasan epistemologi memiliki arti yang
sangat penting bagi bangunan pengetahuan, sebab ia merupakan tempat berpijak.
Epistemologi disebut juga metode ilmiah, yaitu cara yang dilakukan dalam
menyusun pengetahuan yang benar. Metode ilmiah merupakan prosedur dalam
mendapatkan pengetahuan yang disebut ilmu. Metode ilmiah sangat penting dalam
sains, sehingga bannya pakar yang sangat kuat berpegang teguh pada metode dan
cenderung kaku dalam menerapkannya, seakaan-akan mereka menganut motto: tak ada
sains tanpa metode: akhirnya berkembang menjadi sains adalah metode. (Mujamil
Qomar, 2005: 10-11)
Metode ilmiah berperan dalam tataran informasi
dari wujud pengetahuan menuju ilmu pengetahuan. Bisa-tidaknya pengetahuan
menjadi ilmu pengetahuan yang sangat beruntung pada metode ilmiah, karena
metode ilmiah menjadi standar untuk menilai dan mengukur kelayakan suatu ilmu
pengetahuan. Sesuatu fenomena pengetahuan meskipun empiris, jika tiak logis,
maka tidak akan digolongkan sebagai ilmu pengetahuan, melainkan termasuk
wilayah filsafat. Dengan demikian metode ilmiah selalu disokong oleh dua pilar
pengetahuan, yaitu rasio dan fakta secara integratif.
(Imam Barnadib: 1976) Rasio atau akal
merupakan instrument utama untuk memperoleh pengetahuan. Rasio telah lama
digunakan manusia untuk memecahkan atau menemukan jawaban suatu masalah
pengetahuan. Pendekatan sistematis yang mengandalkan rasio disebut pendekatan
rasional. Dengan pengertian lain pendekatan rasional ini disebut dengan metode
deduktif yang dikenal dengan silogisme Aristoteles, karena dirintis oleh
Aristoteles.
Epistemologi berusaha member definisi ilmu
pengetahuan, membedakan cabang-cabangnya yang pokok, mengeidentifikasi
sumber-sumbernya dan menetapkan batas-batasnya.
“Apa yang kita ketahui dan bagaimana kita mengetahui” adalah
masalah-masalah sentral epistemologi, tetapi masalah-masalah ini bukanlah semata-mata
masalah-masalah filsafat (Ziauddin Sardar, 1998: 35). Epistemologi lebih berkaitan dengan filsafat,
walaupun objeknya tidak merupakan ilmu yang empirik, justru karena epistemologi
menjadi ilmu filsafat sebagai objek penyelidikannya (Abdul Munir Mulkhan hal.
54). Dalam epistemologi terdapat upaya-upaya untuk mendapatkan pengetahuan dan
mengembangkannya. aktivitas-aktivitas ini ditempuh melalui
perenungan-perenungan secara filosofis dan analitis. Perenungan atau konteplasi
yang istilah Arabnya kurang lebih tafakkur yang telah diyakini sebagai ciri
khas cara kerja berpikir filosofis. Tidak akan ada filsafat tanpa melalui
perenungan-perenungan (konteplasi) itu. Filsafat selalu mengandalkan
kontemplasi, baik ketika menelaah wilayah kajian ontology, aksiologi maupun
epistemologi, meskipun menggunakan pendekatan lain, seperti analisis konsep
atau analisis bahasa. (Mujamil Qomar, 2005: 25-26).
Epistemologi atau teori mengenai ilmu
pengetahuan itu adalah inti sentral setiap pandangan dunia. Di dalam konteks
islam, ia merupakan parameter yang bisa memetakan, apa yang mugkin dan apa yang
tidak mungkin menurut bidang-bidangnya: apa yang mungkin diketahui dan harus
diketahui; apa yang mungkin diketahui tetapi lebih baik tidak usah diketahui.
Epistemologi dengan demikian bisa dijadikan sebagai penyaring atau filter
terhadap objek –objek pengetahuan. Tiddak semua objek mesti dijelajahi oleh
pengetahuan manusia. Ada objek-objek tertentu yang tingkat manfaatnya kecil dan
madaratnya lebih besar, sehingga tidak perlu diketahui, meskipun memungkinkan diketahui.
Ada juga objek yang benar-benar merupakan misteri, sehingga tidak mungkin bisa
diketahui. Epistemologi juga menentukan cara berfikir manusia. Seseorang yang
senantiasa condong menjelaskan sesuatu dengan bertolak dari teori yang bersifat
umum menuju detail-detailnya berarti dia menggunakan pendekatan deduktif.
Bagi Karl R. Ropper epistemologi adalah
teori pengetahuan ilmiah. Sebagai teori
ilmiah, epistemologi berfungsi dan bertugas menganalisis secar kritis prosedur
yang ditempuh ilmu pengetahuan dan membentuk dirinya. Tetapi, ilmu pengetahuan
harus ditangkap dalam pertumbuhannya, sebab ilmu pengetahuan yang berhenti,
akan kehilangan kekhasannya. Epistemologi juga membekali daya tarik yang tinggi
terhadap konsep-konsep atau teori-teori yang ada. Dalam filsafat, banyak konsep pemikiran para
filosof yang kemudian mendapat serangan yang tajam dari pemikiran filosof lain
berdasarkan pendekatan-pendekatan epistemologi. Dalam tradisi pengetahuan
ilmiah, adanya perbedaan pemikiran adalah keniscayaan. Perbedaan pemikiran
tidak bisa dibendung dan tidak perlu lagi di cegah. Bahkan perbedaan pemikiran
dalam persoalan yang sama, sungguh diharapkan terjadi dalam dunia keilmuan,
karena itu berarti tradisi pengetahuan ilmiah benar-benarsedang tumbuh.
Perbedaan pemikiran ini di kalangan ilmuwan
eksakta tidak terlalu menonjol lantaran fenomena-fenomena alam bersifat
homogen. Namun, di kalangan ilmiuwan sosial perbedaan itu bahkan menjadi cirri
khasnya. Kontribusi epistimologi terhadap kemajuan ilmu pengetahuan dan selanjutnya
pengetahuan dan selanjutnya peradaban itu dapat diperhatikan secara jelas
melalui perbandingan segitiga antara wilayah Yunani, Wilayah Islam dan dunia
Barat. Ilmu Yunani lebih menitikberatkan pada aspek ontologi yang ingin
mengejar kebenaran substantive, sehingga menekankan pada pembahasan yang
mendalam pada substansi atau segala sesuatu yang ada, baik dalam kognisi maupun
realitas indrawi. Tradisi ini memunculkan pengetahuan-pengetahuan yang
bersumber dari metode spekulatif, terutama filsafat; ilmu pengetahuan di Barat
lebih menekankan pada proses atau metode
ilmiah yang dilewati sebagai sarana mencapai kebenaran. Adapun pengetahuan di
dunia Islam lebih menekankan pada aksiologi. Aksiologi merupakan Weltanschauung
yang berfungsi sebagai landasan dalam mengkontruksi fakta. Islam tidak
menghendaki keterpisahan antara ilmu dan system nilai, seperti yang terjadi di
Barat. Ilmu adalah fungsional ajaran wahyu. Ilmu merupakan hasil dialog antara ilmuwan dengan
ralitas yang diarahkan perkembangannya oleh wahyu Alquran. Islam meletakkan
wahyu sebagai paradigm agamawi yang mengakui eksistensi Tuhan, tidak hanya
sebatas keyakinan semata, tetapi diterapkan dlam konstruksi ilmu pengetahuan.
Dengan demikian, Islam menolak science for science dan menghendaki
terlibatnya moralitas dalam pencarian kebenaran ilmu (Noeng Muhajir:105-106).
Perbedaan tekanan ilmu pengetahuan tersebut
ternyata sangat berpengaruh pada kualitas kemajuan. Dunia barat yang menekankan
pada epistemologi,tampak lebih maju daripada Yunani yang menekankan pada
ontology. Letak permasalahannya dengan
begitu bukan pada kegeniusan para pemikirannya, melainkan pada cara pandangn
sesuatu. Terhadap perbandingan kasus ini, A. Mukti Ali mengatakan, bahwa
aristoteles (384-322 SM) sudah barang tentu jauuh lebih genius daripada Francis
Bacon (1561-1626 M), dan Plato (427-347 SM) adalah lebih genius daripada Roger
Bacon (1214-1294 M). Namun, mengapa orang-orang genius seperti Plato dan
Aristoteles justru menyebabkan kemandegan dan stagnasi di Eropa pada abad-abad
pertengahan, sedangkan orang biasa, seperti Bacon mempu membawa kemajuan
ilmiah? Sebabnya adalah kedua Bacon itu menemukan kebenaran; sedangkan
pemikir-pemikir genius yang besar, apabila tidak mengetahui metode yang benar dalam melihat
sesuatu dan memikirkan masalah-masalahnua, maka mereka tidak dapat memanfaatkan
kegeniusannya itu. (Tim Redaksi
Driyakarya)
(Mujamil Qomar, 2005: 33-34) mengatakan Di
kalangan di dunia Islam, ilmu pengetahuan kalah pesat perkembangannya
disbanding ilmu pengetahuan Barat, sebab pemikir-pemikir Islam lebih menekankan
pada aksiologi walaupun dunia Islam pernah menjadi pelopor peradaban. Pemikiran
aksiologis ini, mau tidak mau pasti terkait pada aturan –aturan normatif yang menentukan nilai-nilai dalam kehiduipan
manusia. Tradisi model berpikir secara aksiologis ini masih terasa hingga
sekarang, sehingga dunia Islam semakin jauh ketinggalan dari kemajuan yang
dicapai oleh dunia Barat. Ketertinggalan kemajuan ini lalu berpengaruh negative
terhadap perilku umat Islam, terutama yang berkaitan dengan dimensi intelektual
atau dinamika keilmuan. Hal inilah yang sekarang menjadi perhatian serius pada
pemikir untuk dapat dicatikan solusinya. Ismail Raji’ Al-Faruqi mengajukan
alternative pemecahan, bahwa ‘malaise’ (penyakit) umat hanya dapat
diobati dengan injeksi epistemologi. (Ismail Raji’ Al-Faruqi, 1984: 11).
Berdasarkan pada manfaat epistemologi dalam
mempengaruhi kemajual ilmiah maupun peradaban tersebut, maka epistemologi bukan
hanya mungkin, melainkan mutlak perlu dikuasai. Epistemologi membekali
seseorang yang menguasainya untuk menjadi produsen, baik dalam bidang ilmu
pengetahuan, teknologi, ekonomi, bisnis, maupun secara umum peradaban. Sosok
produsen ini memiliki sifat kreatif, dinamis, berusaha menyiasati perubahan
zaman dengan cermat. Sebagai produsen dengan dukungan sifat-sifat tersebut,
tentu memiliki target untuk bisa memiliki konsumen sebanyak-sebanyaknya, sebagaimana yang terjadi di dunia bisnis.
Dalam dunia intelektual sebenarnya secara substantif tidak jauh berbeda. Para
ilmuwan yang aktif, selalu berupaya menggali pengetahuan baru yang senantiasa
menjadi referensi bagi masyarakat atau komunitas terpelajar, sehingga
teori-teori yang mereka bangun, selalu diikuti oleh komunitas tersebut. Kita
bisa memperhatikan bagaimana teori-teori yang dibangun Issac Newton, Albert
Einsten,Thomas S. Kuhn dan sebaginya, menjadi panutan komunitas terpelajar,
baik mahasiswa, dosen, peneliti, maupun ilmuwan di seluruh dunia. Mereka mampu
merumuskan teori-teori ilmiah melalui bekal kemampuan epistemologinya. (Mujamil
Qomar, 2005: 34-35)
PEMBAHASAN
Epistemologi Barat
Hashemi Rafsanjani mengemukakan bahwa
kontribusi Barat dalam pengembangan sains dan teknologi modern mencapai sekitar
97%, Dunia Islam 1%, sedangkan sisanya 2% oleh dunia lainnya. Pernyataan
tersebut dilontarkan ketikan beliau sedang menjabat presiden pada 1990-an.
Memang tidak ada Negara yang mendominasi semua jenis teknologi. Amerika dikenal
sebagai raja tekonologi di bidang alat
alat strategis, Jerman sebagai raja
teknologi alat-alat berat, Jepang sebagai raja alat-alat elektro, sedangkan di
bidang agronomi rajanya adalah Thailand. Namun, secara global Baratlah yang
mendominasi kemajuan sains dan teknologi ini. (Mujamil Qomar, 2005: 41).

“Kunci Rahasia” yang penting diungkapkan
adalah bahwa kemajuan Barat itu disebabkan oleh pendekatan sainsnya pada epistemologi.
Epistemologi yang dikuasai ilmuwan Barat benar-benar dimanfaatkan untuk
mewujudkan temuan-temuan baru dalam sains dan teknologi. Epistemologi yang
dikembangkan ilmuwan Barat itu selanjutnya mempengaruhi pemikiran para ilmuwan
di seluruh dunia seiring dengan pengenalan dan sosialisasi sains dan teknologi
mereka. Epistemologi itu dijadikan acuan
dalam mengembangkan pemikiran para ilmuwan di masing-masing Negara, akhirnya secara
praktis mereka terbaratkan; pola pikirnya,pijakan berpikirnya, metode berpikirnya
caranya mempersepsi semuanya. Secara sadar atau tidak mereka telah terbelenggu
oleh pengaruh mengikat itu. Padahal epistemologi yang semestinya dijadikan
sarana penalaran yang bisa mewujudkan dinamika pemikiran, berubah menjadi
penyeragaman cara-cara berpikir. seolah-olah hanya ada satu model berpikir yang
mesti diikuti. Kondisi semacam ini makin membuktikan, bahwa sesungguhnya sedang
terjadi proses imperialisme Epistimologi Barat teradapat pemikiran masyarakat
sedunia.
Imperialisme Barat sudah terjadi dan
berlangsung sekitar beberapa abad yang lalu. Sebagaimana yang dinukil Amrullah
Achmad dalam buku karya Mujamil Qomar, Ziauddin Sardanr mengatakan.
Epistemologi Barat yang dipandang oleh para pakar muslim dan non-muslim sebagai
epistemologi universal, telah menjadi cara mengetahui dan menyelidiki yang
dominan dewasa ini,telah mengesampingkan cara-cara mengetahui dengan alternatef
lain. Oleh karena sangat diminannya epistemologi Barat ini, maka masyarakat
muslim seluruhnya dan manusia planet bumi ini, sesungguhnya dibentuk image manusia
Barat. Ia telah menyebabkan terjadimya
apa yang dinamakan Imperialisme epistemologi. Imperialism ini telah berjalan
skitar 300 tahun, sejak kolonialisme Eropa dunia Islam.
Selama ini epistemologi Barat itu selalu
dimanfaatkan untuk mempengaruhi dan menanamkan keyakinan secara apriori, bahwa
Baratlah sumber pengetahuan, cara-cara berfikir model Baratlah yang bisa
diandalkan, dan Barat sebagai pusan metode ilmiah. Meskipun memang harus diakui
bahwa Barat memiliki keunggulan sains. Tetapi akan salah pengertian jika
mengandalkan segalanya kepada Barat. Karena cara kerja berpikit model Barat
sesungguhnya adalah upaya memasung para ilmuwan supaya meyakini sesuatu yang
dianggap baku padahal mestinya masih bisa dikembangkan atau bahkan bisa
dipertentangkan dengan cara-cara kerja ilmiah model lainnya. Akibatnya para
ilmuwan dan pemikir terbelenggu daya kreativitasnya karena hanya mengeharap
produk sains Barat, tanpa disertai upaya mencari solusi yang mungkin bisa
memberikan jawaban lain yang lebih baik.
“Epistimologi dari peradaban Barat yang
telah menjadi cara pemikiran dan penyelidikan (mode of thought and inquiry)
yang dominan dewasa ini telah mengesampingkan cara-cara mengetahui alternatif
lainnya”(Ziauddin Sardar, 1998: 36). Dengan begitu dominannya epistemologi
barat dalam mempengaruhi dan meyakinkan orang terhadap keterandalan cara
berfikirnya, metodenya, dalam memperoleh pengetahuan telah menyebabkan para
komunitas ilmuwan seperti telah mengkultuskan kebenaran epistemologi barat.
Dalam waktu yang bersamaan para ilmuwan dan pemikir tidak lagi mau
mempertimbangkan apakah ada epistemologi versi lain yang berfungsi juga sebagai
alat efektif dalam memperoleh pengetahuan. Membuat orang banyak yang berfikir
bahwa selain epistemologi barat itu rendah kualitasnya, belum teruji
keandalannya dalam memberikan jawaban-jawabanya, tentang bagaimana memperoleh
pengetahuan yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
Alasan mengapa epistemologi Barat diakui
oleh seluruh dunia karena mereka gencar mensosialisasikan secara besar-besaran
melalui berbagai media. Selain itu mereka sudah menyiapkan berbagai media untuk
memperkenalkan mekanisme kerja epistemologi, hingga diperoleh pengetahuan baru,
yaitu buku, jurnal,forum seminar, penayangan layar ditelevisi dan sebagainya.
Karena upaya mereka tersebut akhirnya orang Barat mampu membentuk Opini public
bahwa epistemologi Barat lah yang harus diakui sebagai cara yang paling benar
dalam memperoleh pengetahuan. Kesan seperti itu menjadikanmasyarakat tidak
mempercayai ilmuwan-ilmuwan non Barat dalam merumuskan epistemologi. Selain itu
mereka akan bersikap tidak percaya terhadap kemampuan mereka sendiri. adapun
secara psikologis, perasaan mereka bisa teriringiuntuk mempercayai keunggulan
epistemologi Barat. Padahal harusnya para ilmuwan itu percaya pada kemampuan
sendiri dan berani mengembangkan dan membuat epistemologi versi mereka sendiri.
Mujamil Qomar menukil pernyataan Ismail
Raji’ Al-Faruqi, bahwa kondisi yang
seperti ini seharusnya juga bisa terwujud dalam Dunia Islam mengingat
negara-negara colonial barat beserta antek-anteknya mengisi kehidupan
sehari-hari seorang muslim dengan efek-efek mempromosikan kultur Barat (Ismail
Raji’ Al-Faruqi, 1984: 9). Banyak sekali kultur Barat yang mulai tertanam dalam
masyarakat muslim, dan masyarakat muslim sendiri telah meninggalkan kultur yang
diwariskan dari para pendahulunya. Masyarakat muslim banyak mempraktekkan
kultur Barat dalam kehidupan sehari-harinya dengann bangga yang justru
membahayakan kehidupan mereka sendiri. ironisnya kultur Barat yang negatif
lebih diadaptasi dari pada yang positif. Menurut Hasan Hanafi masyarakat perlu
menentang peradaban Barat, sehingga dia mengusulkan “oksidentalisme” sebagai
jawaban terhadap “orientalisme” dalam ranka menakhiri mitos peradaban Barat.
Keterjebakannya umat Islam untuk bergantung
pada pemikiran Barat itu sampai mereka mengesampingkan pemberdayaan akalnya
sendiri. mereka tidak mempunyai upaya seius dalam membentuk dan membangun
pengetahuan berdasarkan ijtihadnya. Padahal jika mereka memikirkan pada masa
keemasan Islam banyak tokoh-tokoh yang melakukan ijtihad. Harusnya tradisi
ijtihad itu dimanfaatkan untuk memberikan spirit kepada mereka dalam menumbuhkan
semangat intelektual, sehingga secara produktif mereka mengekspresikan
pemikiran-pemikiran segar dan orisinal.
Kini pemikiran Islam sepenuhnya sudah
terpinngirkan di zaman Era modern ini, karena pemikiran islam tidak dapat
memberikan gagasan yang cerdas terhadap bangunan “fisik” dan khazanah
intelektual di dalam wacana ilmu pengetahuan konteporer.
Epistemologi Islam
Epistemologi Islam perlu dijadikan
alternative terutama bagi filosof, pemikir dan ilmuwan Muslim untuk
menyelamatkan mereka dari keterjebakan ke dalam arus besar di bawah kendali
epistemologi Barat. Karena epistemologi
telah menguasai wilayah dunia para ilmuwan Muslim juga mengikkuti bahkan tidak
jarang yang mengandalkan epistemologi Barat tanpa koreksi sama sekali, maka
secara intelektual sebenarnya umat Islam menjadi terjajah oleh Berat. M. Arkoum
melaporkan, “ternyata hingga dewasa ini semua cabang ilmu keislaman boleh
dikata mengalami kelumpuhan, stagnasi, tidak ada lagi perkembangan yang
berarti, baik ilmu kalam, fiqh, tasawuf, atau ilmu-ilmu tafsir, hadis
dan lain-lainnya.
Dari reaitas tersebut seharusnyua umat
muslim mencari pemecahan solusi yang statetig agar kondisi ilmu keislaman tidak
berlarut tanpa penyelesaian. Kalangan intelektual Muslim yang paling
bertanggung jawab mencarikan alternatif penyelesaian. Epistemologi Islam
memiliki fungsi yang sangat penting dalam menjaga kehormatan umat Islam. Epistemologi ini bisa membangkitkan
umat Islam untuk segera mencapai kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Namun
belakangan ini sudah banyak gerakan Islamisasi ilmu pengetahuan diberbagai
belahan dunia yang diperankan oleh intelektual Muslim. Kejayaan Islam yang diharapkan terwujud
kembali hanya menjadi impian belaka tanpa pernah menjadi, bahkan mendekati
realitas sama sekali. Malapetaka peradaban ini terjadi karena kaum intelektual
Muslim tidak segera sadar dan membangun epistemologi alternative yaitu
epistemologi yang dijiwai oleh nilai-nilai ketauhidan (Mujamil Qomar, 2005:
164-166).
Tauhid yang mendasari epistemologi Islam
yang hendak dibangun, merupakan salah satu disiplin dasar yang sangat penting dalam mengembangkan
ilmu-ilmu Islam, sebab epistemologi merupakan operator mayor yang
mentransformasikan visi tauhid dan visi dunia dalam realita. Upaya
mentransformasikan ideal Islam menjadi kenyataan itu semacam ‘manajeman’ dalam
proses mengetahui menjadi perbuatan dan perlembagaannya dalam kehidupan
(Amrullah Achmad: 120). Dalam prekspektif tauhid Islam bahwa epistemologi Islam
dimulai dari premis seluruh pengetahuan adalah milik Allah. Dia yang
mengajarkan segala bentuk pengetahuan kepada manusia yaitu Nabi Adam As.
Pengajaran Allah kepada Adam tersebut merupakan petunjuk bahwa Allah
menghendaki agar manusia mampu menguasai dan mengolah ala mini dengan ilmunya.
Epistemologi Pendidikan Islam
Pendidikan Islam harus didekatkan pada
epistemologi untuk mewujudkan, apa yang disebut epistemologi pendidikan Islam.
Upaya penggalian, penemuan dan pengembangan pendidikan Islam bisa efektif dan
efisien, bila didasarkan pada epistemologi pendidikan Islam. Epistemologi
pendidikan Islam, menuntut segera dibangun oleh para pemikir Islam. Karena sangat berfungsi untuk mengembangkan
pendidikan secara konseptual dan aplikatif. Selain itu paling tidak mengurangi
epistemologi Barat yang sudah banyak mempengaruhi pendidikan Islam.
Menurut Amirullah Achmad Filsafat
pendidikan yang diberikan pada departemen kependidikan Islam sepenuhnya
filsafat pendidikan Barat yang mulai digugat sebagian besar pakar kita.
Sedangkan kajian filsafat Islam sudah hampir putus dari nilai dan wawasan
Islam, sehingga perlu segera diperbaiki dan ditekankan kembali pada kajian
filsafat Islam, sebab pada sisi inilah yang justru menjadi sumber krisis di
dunia Muslim dan yang paling sedikit dikaji pada unversitas Islam selama ini
atau bahkan ditinggalkan sama sekali (Mujamil Qomar, 2005: 209). Mujamil Qomar dalam bukunya mengatakan bahwa Filsafat
pendidikan yang diajarkan kepada mahasiswa jurusan pendidikan Islam adalah
filsafat Barat, maka pendidikan yang
dikembangkan umat Islam adalah pendidikan yang berpola Barat. Selain itu M.
Rusli Karim menegaskan, “Pendidikan Islam di beberapa Negara Islam
yang mayoritas penduduknya beragama Islam
tidak lebih dari duplikasi dari pendidikan di
negara-negara Barat sekuler yang banyak mereka cela. Dengan demikian, produk
system pendidikan mereka tidak mungkin menjadi atau berupa alternatif” (M.
Rusli Karim,1991: 37).


Pendidikan Barat yang diadaptasi oleh
pendidikan Islam, meskipun mencapai kemajuan, tetap tidak layak dijadikan
sebagai sebuah model untuk memajukan peradaban Islam yang damai, anggun, dan
ramah terhadao kehidupan manusia.
Pendidikan barat itu hanya maju lahiriah, tetapi rohaninya tidak karena pendidikan
tersebut hanya berorientasi pada pengembangan yang bersifat kuantitatif. Jadi
ukuran hasil pendidikan itu dilihat dari seberapa jauh pengetahuan yang diserap
peserta didik, bukan peserta didiknya itu bertindak sesuai ilmunya.
Di Barat ilmu pengetahuan hanya berdasar
pada akal dan indera, sehingga ilmu pengetahuan itu hanya mencakup hal-hal yang
dapat diindera dan dinalar semata.
Namun, karaktek pendidikan Barat tampaknya telah mengilhami pendidikan
yang dikembangkan di dunia Islam. Banyak orang Islam yang bangga menetapkan
model Barat, bahkan sikap peniruan untuk mendapatkan pengakuan sebagai telah mengikuti perkembangan pendidikan yang
paling modern. Pengaruh pendidikan karakter Barat itu memasuki hampir semua
pendidikan di kalangan Muslim. Kini banyak dari penerapan pendidikan di dunia
Islam telah terlanjur mengikuti pola dan model pendidikan yang dikembangkan
Barat dengan alasan mencapai kemajuan seperti di Barat, tetapi kenyataannya
sangat berlawanan dengan harapan. Hasil pendidikan yang dicapai tetap tidak
mampu memobilisasi perkembangan peradaban Islam.
Kenyataan yang menimbulkan problem
dilematis ini pernah diungkap oleh Ismqil Raji’ Al-faruqi bahwa materi dan
metodologi yang kini diajarkan di dunia Islam adalah jiplakan dari materi dan
metodologi Barat, namun tak mengandung wawasan yang selama ini menghidupkan
negeri Barat. Selain itu kondisi riil di masyarakat ini tumbuh karena pengaruh
pendidikan modern Barat yang dikembangkan berdasarkan kebutuhan ekonomu.
Semakin besar pengaruh pendidikan Barat untuk menguasai, mewarnai dan mengendalikan
pendidikan Islam sesuai dengan selera,
kecenderungan, tradisi, budaya dan paradigma kehidupan orang-orang barat yang
sekuler. Ini sekaligus menunjukkan bahwa pendidikan Islam tidak berdaya
memberikan pembekalan terhadap potensi umat Islam dalam mengembangkan peradaban
mereka yang dicita-citakan.
Pengaruh lain dari pendidikan Barat
terhadap pendidikan Islam adalah wujudnya dikotomi pendidikan di kalangan
Muslim. Pendidikan Islam sebagai warisan periode klasik akhir, tidak lagi
ditegakkan atas fondasi intelektual spiritual yang kokoh dan anggun.
Diterimanya prinsip dikotomik antara ilmu agama dan ilmu umum, adalah salah
satu indikasi rapuhnya dasar filosofis pendidikan Islam (Ahmad Syafi’i Ma’arif,
1991: 18). Dikotomi itu menimbulkan kesan, bahwa pendidikan agama berjalan
tanpa dukungan ilmu pengetahuan dan teknologi, sebaliknya pendidikan umum hadir tanpa sentuhan agama.
Sistem pendidikan yang dikotomik tersebut sekaligus menyebabkan lahirnya system
pendidikan umat Islam yang sekuleristik, rasionalistik-empirik, intuitif, dan
materialistic. Keadaan ini tidak mendukung tata kehidupan umat yang mampu
melahirkan peraadaban Islami (Amrullah Achmad).
Kemudian Mujamil merinci dikotomi
pendidikan itu secara sambung menyambung menyebabkan:
1. Kegagalan merumuskan Tauhid dan bertauhid
2. Lahirnya syirik yang berakibat adanya dikotomi fitrah Islam
3. Adanya dikotomi kurikulum
4. Terjadinya dikotomi dalam proses pencapaian tujuan pendidikan
5. Adanya dikotomi lulusan pendidikan dalam bentuk split personality ganda
dalam arti kemusyikan, kemunafikan yang melembaga dalam system keyakinan,
system pemikiran, sikap, cita-cita dan perilaku yang sering disebut sekulerisme
6. Rusaknya system pengelolaan lembaga pendidikan
7. Lembaga pendidikan melahirkan manusia yang berkepribadian ganda, yang
justru menimbulkan dan memperkokoh sistm kehidupan umat yang sekuleristik,
rasionalistik-empiristik-intuitif dan materialistik
8. Lahirnya Barat sekuler yang dipoles dengan nama Islam
9. Lahirnya da’i yang berusaha merealisasikan Islam dalam bentukna yang
memisahkan kehidupan sosial-politik-ekonomi ilmu pengetahuan-teknologi dengan
ajaran Islam saja, agama urusan akhirat dan ilmu-teknologi untuk urusan dunia.
Pengaruh pendidikan Barat terhadap pendidikan yang berkembang di hampir
semua Negara ternyata sangat kuat. Pengaruh ini juga menembus pendidikan Islam,
sehingga system pendidikan Islam mengalami banyak kelemahan. Untuk mengatasi
kelemahan-kelemahan tersebut, para pakar pendidikan Islam dan para pengambil
kebijakan dalam pendidikanislam harus mengadakan pembaruan-pembaruan secra
komprehensif agar terwujud pendidikan Islam ideal yang mencakup berbagai
dimensi.
Epistemologi pendidikan Islam, meliputipembahasan
yang berkaitan dengan seluk beluk pengetahuan pendidikan Islam mulai dari
hakekat pendidikan Islam, asal-usul pendidikan Islam, sumber-sumber pendidikan
Islam, metode membangun pendidikan Islam, unsus pendidikan Islam, sasaran
pendidikan Islam, macam-macam pendidikan Islam dan sebagainya. Dalam tulisan
ini akan lebih mengarahkan pada metode atau pendekatan yang dapat dipakai
membangun pendidikan Islam, daripada komponen-komponen lainnya, karena
komponen-komponen tersebut paling dekat dengan upaya mengembangkan pendidikan
Islam, baik secara konseptual maupun aplikatif.
Metode Epistemologi Pendidikan Islam
Metode merupakan bagian integral dan
epistemologi, karena epistemologi mencakup banyak pembahasan termasuk metode.
Metode epistemologi pendidikan Islam adalah sebagai metode-metode yang dipakai
dalam menggali, menyusun dan mengembangkan pendidikan Islam. Dengan kata lain,
adalah metode-metode yang dipkai dalam membangun ilmu pendidikan Islam. Metode
epistemologi pendidikan Islam adalah metode-metode dalam epistemologi
pendidikan Islam atau metode yang digunakan untuk memperoleh pengetahuan
tentang pendidikan Islam. Ada perbedaan antara metode epistemologi pendidikan
Islam dengan metode penelitian pendidikan Islam. Metode epistemologi Islam
lebih berada pada tataran pemikiran filosofis, sedangkan metode penelitian
pendidikan Islam berada pada tataran teknis dan operasional. Metode
epistemologi pendidikan Islam merupakan alat filsafat yang membahas pengetahuan
pendidikan Islam. Metode epistemologi pendidikan Islam berusaha membangun,
merumuskan dan memproses pengetahuan tentang pendidikan Islam.
Menurut Mujamil Qomar dari
perenungan-perenungan terhadap ayat-ayat Al-Quran, Hadits Nabi dan penalaran
sendiri, untuk sementara didapatkan lima macam metode yang secara efektif untuk
membangun pengetahuan tentang pendidikan Islam, yaitu:
A. Metode Rasional (Manhaj ‘Aqli)
Metode Rasional adalah metode yang dipakai untuk memperoleh pengetahuan
dengan menggunakan pertimbangan-pertimbangan atau kriteria-kriteria kebenaran
yang bisa diterima rasio. Menurut metode ini sesuatu dianggap benar apabila
bisa diterima oleh akal, seperti sepuluh lebih banyak dari lima. Tidak ada
orang yang mampu menolak kebenaran ini berdasarkan penggunaan akal sehatnya,
karena secara rasional sepuluh lebih banyak dari lima.
Metode ini dipakai dalam mencapai pengetahuan pendidikan Islam, terutama
yang bersifat apriori. Akal member penjelasan-penjelasan yang logis terhadap
suatu masalah,sedangkan indera membuktikan penjelasan-penjelasan itu.
Penggunaan akal untuk mencapai pengetahuan termasuk pengetahuan pendidikan
Islam mendapat pembenaran agama Islam. Filosof muslim berpandangan, bahwa
sebagian naṣ syariat mengandung makna ẓahir untuk kalangan umum
dan makna batin –filosofis bagi kalangan khusus. Makna yang kedua ini
diwujudkan melalui ta’wil bagi ahlinya. Ini berarti Al-Quran dan Hadits
benar-benar mengandung segi-segi pemikiran-pemikiran filosofis dan mewajibkan
untuk mengeluarkan pemikiran-pemikiran ini bagi orang yang mampu dan ahlinya.
Machfudz Ibawi berani menegaskan, bahwa bahasa Al-Quran seluruhnya
bersifat filosofis, dengan pengertian tidak mudah dimengerti tanpa mencari,
menganalisis atau menggali sesuatu yang tersimpan dibalik bahasa harfiah. Oleh
karena itu dibutuhkan pemikiran yang makin rasional dan logis sebagai media
atau alat untuk mendapatkan pengetahuan dan pemahaman terhadap kandungan
Al-Quran sebagai cermin dari ajaran
Islam.
Teori-teori yang diformulasikan oleh ilmuwan-ilmuwan Islam tidak banyak
dipakai sebagai landasan dalam membahas masing-masing disiplin ilmu karena
masih kalah oleh teori barat. Bahkan yang paling berbahaya secara intelektual
adalah bahwa teori-teori barat telah dianggap baku dan disakralkan karena tidak
pernah digugat. Teori-teori pendidikan Islam yang dirumuskan pemikir-pemikir
Islam zaman dahulu juga menjadi sasaran pencermatan kembali dengan menggunakan
metode rasional. Harusnya metode rasional telah lama menjadi pegangan para
filosof pendidikan Islam dalam merumuskan teori. Namun, dalam kenyataan belum
banyak ahli filsafat pendidikan Islam yang memanfaatkan metode rasional ini. Pendidikan
Islam selama ini secara sinis masih dianggap meniru pendidikan Barat. Jika
diperhatikan landasan pendidikan Islam itu berupa Quran dan Sunnah, dan
seharusnya tidak ada lagi peniruan. Mekanisme kerja metode rasional yang
kesekian kali dalam mencapai pengetahuan pendidikan Islam dilakukan dengan cara
mengembangkan objek pembahasan. Sebenarnya melalui metode rasional saja dapat
diperoleh khazanah pengetahuan pendidikan Isla dalam jumlah yang amat besar.
B. Metode Intuitif (Manhaj Zawqi)
Metode intuitif merupakan metode yang khas bagi ilmuan yang menjadikan
tradisi ilmiah Barat sebagai landasan berfikir mengingat metode tersebut tidak
pernah diperlukan dalam pengembangan ilmu pengetahuan. Sebaliknya dikalangan
Muslim seakan-akan ada kesepakatan untuk menyetujui intuisi sebagai satu metode
yang sah dalam mengembangkan pengetahuan, sehingga mereka telah terbiasa
menggunakan metode ini dalam menangap penembangan pengetahuan. Ada beberapa
istilah yang dipakai untuk menyebut intuisi itu. Muhammad Iqbal menyebut intuisi ini dengan peristilahan
“cinta” atau kadang-kadang disebut pengalaman kalbu.
Dalam pendidikan Islam, pengetahuan intuitif ditempatkan pada posisi
yang layak. Pendidikan Islam sekarang menjadikan manusia sebagai objek
material, sedang objek formalnya adalah kemampuan manusia. Pendidikan Islam
sebenarnya secara spesifik terfokus untuk mempelajari kemampuan manusia itu,
baik berdasarkan wahyu, pemberdayaan akal maupun pengamatan langsung. Di
kalangan pemikir Islam, intuisi tidak hanya disederajatkan dengan akal maupun
indera, tetapi bahkan lebih diistimewakan daripada keduanya. Bagi Al-Gazhali, bahwa al-zawaq (intuisi)
lebih tinggi dan lebih dipercaya, daripada akal untuk menangkap pengetahuanyang
betul-betul diyakini kebenarannya. Sumber pengetahuan tersebut dinamakan
al-nubuwwat, yang pada nabi-nabi berbentuk wahyu dan pada manusia biasa
berbentuk Ilham (Hasyimsyah Nasution, 1999: 81).
Sebagai suatu metode epistemologi, intuisi itu bersifat netral. Artinya ia bisa dimanfaatkan untuk
mendapatkan berbagai macam pengetahuan. Intuisi dalam pengertian kemampuan
mencapai kesimpulan secara tepat tanpa melalui langkah-langkah logika satu demi
satu (al-hads), maupun dalam pengertian pengalaman mencerahkan (al-wjdan),
adalah sampainya daripada makna, atau sampainya makna pada diri, baik itu
diperoleh melalui pembuktian, seperti dalam hal pertama al-hads, atau datang
dengan sendirinya dalamhal yang kedua al-wijdan. Hakekat intuisi menurut
Al-Tahawuny, bisa bertambah dan berkurang. Bila kita mengamati pengalaman kita
sehari-hari tampaknya ada perbedaan frekuensi intuisi muncul dalam rentang
waktu tertentu. Adakalanya dalam waktu yang berututan muncul beberapa kali,
tetapi terkadang dalam waktu yang lama juga tidak kunjung tiba.
Akal adalah suatu substansi ruhaniah yang melihat pemahaman yang kita
sebut hati atau kalbu, yang merupakan tempat terjadinya intuisi. Penggunaan
akal dan intuisi secara integral dapat memberikan kontribusi yang cukup besar
terhadap pengembangan metode-metode yang dipakai menggali pengetahuan. Metode
interpretasi misalnya, ia diyakini akan tumbuh dan berkembang melalui
pemanfaatkan metode-metode yang menggunakan akal dan intuisi. Intuisi itu bisa
didatangkan untuk memberikan pencerhan konsentrasi, kontemplasi, dan imajinasi.
Sebaiknya kita memiliki tradisi ketiganya ini dalam mengembangkan atau menyusun
konsep pendidikan Islam yang bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah di
hadapan kriteria ilmu pengetahuan dan secara normatif di hadapan wahyu.
C. Metode Dialogis (Manhaj Jadali)
Metode dialogis yang dimaksudkann di sini
adalah upaya menggali pengetahaun pendidikan Islam yang dilakukan melalui karya
tulis yang disajikan dalam bentuk percakapan antara dua orang ahli atau lebih
berdasarkan argumentasi-argumentasi yang bisa dipertanggungjawabkan secara
ilmiah. Metode ini memiliki sandaran teologis yang jelas. Upaya untuk mecari
jawaban-jawaban adalah aktivitasyang saha menurut Islam maupun ilmu
pengetahuan. Peristiwa sebagai wujud dialog telah dikemukakkan dalam Al-Quran.
Menurut Mohammad Anwar, “Banyak ayat dalam Al-Quran memulai dengan kata-kata yasaluunaka
(mereka bertanya)”. Ada sebanyak 15 kali kata ini dipergunakan dalam
Al-Quran. Kata tersebut disambugn dengan objek pertanyaan, kemudian diikuti
kata qul (katakanlah) baru materi jawaban kecuali pada An-Naziat ayat
42. Ternyata pada ayat ini setelah dicermati mengandung rahasia tertentu, bahwa
orang-orang kafir bertanya kepada Muhammad tentang hari berbangkit bukan
semata-mata ingin mendapatkan jawaban yang pasti, melainkan sebagai ejekan.
Pendidikan Islam perlu didialogkan dengan
nalar kita untuk memperolah jawaban-jawaban yang signifikan dalam mengembangkan
pendidikan Islam tersebut. Nalar itu akan memiliki daya analisis yang tajam
manakala menghadapi tantangan-tantangan. Ilmu pendidikan Islam harus bertumpu
pada gagasan-gagasan yang dialogis dengan pengalaan empiris yang terdiri atas
fakta atau informasi untuk diolah
menjadi teori yang valid yang menjadi tempat berpijaknya suatu pengetahuan ilmiah. Untuk menerapkan metode ini, dapat
disiapkan wdahnya dengan beberapa cara, misalnya dengan menetapkan pasangan
dialog, membentuk forum dialog, mempertemukan dua forum dialog, maupun dengan
mengundang pakar-pakar pendidikan Islam, apabila difungsikan secara maksimal.
wadah-wadah dialog itu hanya berbeda skalanya saja, sedang misi dan fungsinya
relative sama. Semuanya sebagai wadah untuk menggali pengetahuan pendidikan
Islam dari Al-Quran, hadits dan praktek-praktek pendidikan Islam, kemudian
dirumuskan dalam teori-teori ilmiah tentang pendidikan Islam.
Metode dialogis dalam epistemologi
pendidikan Islam ini bisa mengambil bermacam-macam objek; ketentuan-ketentuan
wahyu, baik yang terdapat pada Al-Quran maupun hadits yang disebut dengan
konsep-konsep Normatif, pendapat-pendapat para pakar pendidikan Islam, baik pada masa lampau maupun sekarang
yang disebut konsep-konsep teoritis, dan pengamatan terhadap pengalaman-pengalaman
melaksanakan pendidikan bagi kaum Muslim, baik dahulu maupun sekarang yang bisa
disebut “konsep-konsep empiris”. Semua Objek itu ada dalam bingkai keislaman
karena Islam terbagi menjadi dua, yaitu Islam dalam arti wahyu dan Islam dalam
arti budaya. Islam wahyu berupa Al-Quran dan hadis sedang Isla budaya berupa
pemikiran, pengalaman, maupun tradisi umat Islam.
D. Metode Komparatif (Manhaj Maqaran)
Metode komparatif adalah metode memperoleh pengetahuan (dalam hal ini
pengetahuan pendidikan Islam, baik sesama pendidikan Islam maupun pendidikan
Islam dengan pendidikan lainnya. Metode ini ditempuh untukmencari
keunggulan-keunggulan maupun memadukan pengertian atau pemahaman, supaya
didapatkan ketegasan maksud dari permasalahan pendidikan. Maka metode komparatif
ini masih bisa dibedakan dengan pendidikan perbandingan.
Metode komparatif sebagai salah satu metode epistemologi pendidikan
Islam objek yang beragam untuk diperbandingkan, yaitu meliputi: perbandingan
sesame Ayat Al-Quran tentang pendidikan, antara ayat-ayat pendidikan dengan
hadits-hadits pendidikan, antara sesame hadits pendidikan, antara sesama teori
dari pemikir pendidikan, antara sesama teori dari pakar pendidikan Islam dan
non Islam, antara sesama lembaga pendidikan Islam, antara sesama lembaga
pendidikan Islam dengan lembaga pendidikan non Islam, antara sesama sejarah
umat Islam dahulu dan sekarang.
Metode komparatif ini selain sebagai metode epistemologi juga pada tahap
operasionalnya menjadi salah satu metode penelitian dan memiliki objek yang
luas. Dalam penelitian filsafat, menurut J. Collins perbandingan itu dapat
diadakan di antara tokoh atau naskah, system atau konsep, antara dua
hal/pribadi atau lebih banyak, antara yang serupa atau berbeda sekali. Dari
segi mekanisme kerja metode komparatif dipublikasikan melalui langkah-langkah
kerja secara bertahap sebagai berikut: Pertama, menelusuri
permasalahan-permasalahan yang setara tingkat dan jenisnya; kedua, mempertemukan
dua atau lebih permasalahannya yang setara; ketiga, mengungkapkan
ciri-ciri dari objek yang sedang dibandingkan secara jelas dan terinci; keempat,
mengungkapkan hasil perbandingan; kelima, menyusun atau
memformulasikan teori-teori yang bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah
(logis dan objektif).
E. Metode Kritik (Manhaj Naqdi)
Metode kritik yaitu sebagai usaha untuk menggali pengetahuan tentang
pendidikan Islam dnegan cara mengoreksi kelemahan-kelemahan suatu konsep atau
aplikasi pendidikan, kemudian menawarkan solusi sebagai altrnatif pemecahannya.
Jadi maksudnya kritik bukan karena adanya kebencian, melainkan karena adanya
kejanggalan-kejanggalan atau kelemahan-kelemahan yang harus diluruskan.
Sebenarnya kritik adalah metode kita yang
sudah ada sejak dulum dari ilmu kalam, fiqh, sejarah Islam maupun hadits. Namun
sayangnya sekarang jarang sekali kalangan Muslim yang berpijak pada metode
kritik ketika mengungkapkan gagasan-gagasannya. Salah satau pemikir muslim yang
karya-karyanya bernuansa kritik adalah Muhammad Arkoun. Beliau mengkritik
bangunan epistemologi keilmuan agam Islam. Sebenarnya kritik itu berkonotasi
dalam makna upaya membangun, tidak seperti yang kita pahami selama ini bahwa
kritik adalah penghinaan. Dan itu berakibat umat muslim merasa tidak suka
terhadap kritik. Dengan menggunakan metode kritik dapat mengkritik teori barat
yang tidak sepaham dengan nas-nas wahyu yang berkaitan dengan pendidikan Islam.
SIMPULAN
Epistemologi Barat yang sudah banyak
digunakan di pendidikan Indonesia, memang sulita untuk dihilangkan, apalagi
untuk mengganti dengan epistemologi Islam. Dalam dunia pendidikan Islam saat
ini juga menggunakan Epistemologi Barat, yang dianggap modern. Padahal
cara-cara barat tidaklah menghasilkan sesuatu yang baik. Pemikiran barat
mengedepankan seberapa jauh para peserta didik mampu menyerap ilmu yang dia
dapat bukan memperhatikan apakah tumbuh kesdaran dari peserta didik itu untuk
bertindak sesuai dengan pengetahuan yang dikuasainya. Seharusnya pendidikan
Islam melakukan pembaruan supaya lebih memperhatikan Akhlak peserta didiknya,
bukan hanya pada kepandaian menyerap ilmunya. Saat ini para pemikir sedang
melakukan islamisasi ilmu pengetahuan, meskipun tidak semua ilmu itu dapat
dilakukan islamisasi. Metode epistemologi pendidikan harusnya dilakukan
berdasarkan nas-nas wahyu yang bersandar pada Al-Quran dan hadits. Adapun metode
epistemologi yang harus digunakan oleh para pemikir muslim. Pertama, metode
rasionalis yaitu yang bertumpu pada akal manusia. Kedua, metode intuitif yaitu
yang bertumpu pada rasa dan intuisi terhadap pengetahuan. Ketiga, metode
dialogis atau seperti Tanya jawab. metode ini sudah ada pada Al-Quran yang
perlu dicontoh oleh para pemikir Muslim dalam pendidikan Islam. Keempat, metode
komparatif atau seperti perbandingan. Dengan metode ini dapat membandingkan
dengan yang lainnya. Kelima, metode kritik, metode ini sudah lama digunakan
oleh para pemikir islam terdahulu, apalagi dalam ilmu kalam, fiqh, sejarah dan
hadits juga ada yang namanya kritik dari metode kritik harusnya para pemikir
islam bisa mengkritik teori-teori barat. Namun, sayang sekali para pemikir
pendidikan islam yang tidak melakukan kritik terhadap teori-teori Barat,
malahan mereka membenarkan teori-teori tersebut tanpa mau mengembangkannya
kembali.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Faruqi, Ismail Raji. 1984. Islamisasi Pengetahuan,
terj. Anas Mahyuddin. Bandung: Pustaka Setia.
Barnadib, Iman. 1976. Filsafat Pendidikan (Sistem
dan Metode). Yogyakarta: Yayasan Penerbit Fakultas Ilmu Pendidikan.
Ihsan, Fuad.
2010. Filsafat Ilmu. Jakarta: Rineka Cipta.
Muhajir, Noeng. 2000. Landasan Metodologi Psikologi
Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Qomar, Mujamil. 2005. Epistemologi Pendidikan Islam
dari Metode Rasional hingga Metode Kritik. Jakarta: Erlangga.
Sardar, Ziauddin. 1998. Jihad Intelektual
Merumuskan Parameter-parameter Sains Islam. Surabaya: Risalah Gusti.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar