Selasa, 03 Februari 2015

Jurnal Epistemologi Pendidikan Islam

PENGARUH EPISTEMOLOGI PENDIDIKAN BARAT TERHADAP PENDIDIKAN ISLAM DAN METODE EPISTEMOLOGI PENDIDIKAN ISLAM

Nurhidayah (1132010051)
Manajemen Pendidikan Islam
UIN SGD Bandung
Jl. A. H. Nasution, Cibiru, Bandung.

ABSTRAK
Tulisan ini dibuat untuk mencari tahu tentang metode atau cara mendapatkan ilmu dalam pendidikan islam, atau mencari asal pengetahuan, sumber-sumber pengetahuan, manfaat dan sahihnya pengetahuan dalam pendidikan islam. Dalam pendidikan islam ada cara mendapatkan ilmu dengan mengambil dari Al-Quran dan As-Sunnah. Namun dalam kenyataan pendidikan islam saat ini, tidak semuanya bersumber dari Al-Quran dan As-Sunnah melainkan teori-teori dari barat digunakan pula dalam mengambil sumber belajar. Pendidikan Islam saat ini masih menganut epistemologi barat, meskipun begitu beberapa para pemikir Islam sedang gencar melakukan islamisasi ilmu pengetahuan. Metode yang digunakan dalam penulisan ini adalah metode kajian pustaka. Pemikiran teologi yang menjadi landasan tulisan ini adalah pemikiran Mujamil Qomar yang memungkinkan adanya metode memproses pengetahuan tentang pendidikan Islam atau metode epistemologi pendidikan Islam, yang memiliki lima macam bentuk metode yaitu: metode rasional (manhaj ’aqli), metode intuitif (manhaj zawqi), metode dialogis (manhaj jadali), metode komparatif (manhaj muqarani), dan metode kritik (manhaj naqdi).
Kata Kunci:  Pendidikan Islam, Epistimologi, Metode,  Pengaruh




PENDAHULUAN
Epistemologi adalah suatu cabang filsafat yang bersangkut paut dengan teori pengetahuan. Istilah epistemologi berasal  dari bahasa Yunani, yang terdiri dari dua kata, yaitu episteme (pengetahuan) dan logos (kata, pikiran, percakapan, atau cara). Jadi, epistemologi berarti kata, pikiran, percakapan tentang pengetahuan atau cara berpengetahuan. (Dian)
Epistomologi lazimnya disebut teori pengetahuan  secara umum membicarakan menegenai sumber-sumber, karakteristik dan kebenaran pengetahuan. Persoalan epistemologi (teori pengetahuan) berkaitan erat dengan persoalan metafisika.  Bedanya,  persoalan epistemologi berpusat pada: problem asal pengetahuah? Apakah sumber-sumber pengetahuan? Darimana pengetahuan yang benar, dan bagaimana kita dapat mengetahui? Problem penampilan, apakah yang menjadi kartakteristik pengetahuan? Apakah dunia riil di luar akal, apabila ada dapatkah diketahui? Problem mencoba kebenaran, bagaimana membedakan antara kebenaran dan kekeliruan.(Fuad Ihsan, 2010: 42-43).
Landasan epistemologi memiliki arti yang sangat penting bagi bangunan pengetahuan, sebab ia merupakan tempat berpijak. Epistemologi disebut juga metode ilmiah, yaitu cara yang dilakukan dalam menyusun pengetahuan yang benar. Metode ilmiah merupakan prosedur dalam mendapatkan pengetahuan yang disebut ilmu. Metode ilmiah sangat penting dalam sains, sehingga bannya pakar yang sangat kuat berpegang teguh pada metode dan cenderung kaku dalam menerapkannya, seakaan-akan mereka menganut motto: tak ada sains tanpa metode: akhirnya berkembang menjadi sains adalah metode. (Mujamil Qomar, 2005: 10-11)
Metode ilmiah berperan dalam tataran informasi dari wujud pengetahuan menuju ilmu pengetahuan. Bisa-tidaknya pengetahuan menjadi ilmu pengetahuan yang sangat beruntung pada metode ilmiah, karena metode ilmiah menjadi standar untuk menilai dan mengukur kelayakan suatu ilmu pengetahuan. Sesuatu fenomena pengetahuan meskipun empiris, jika tiak logis, maka tidak akan digolongkan sebagai ilmu pengetahuan, melainkan termasuk wilayah filsafat. Dengan demikian metode ilmiah selalu disokong oleh dua pilar pengetahuan, yaitu rasio dan fakta secara integratif.
(Imam Barnadib: 1976) Rasio atau akal merupakan instrument utama untuk memperoleh pengetahuan. Rasio telah lama digunakan manusia untuk memecahkan atau menemukan jawaban suatu masalah pengetahuan. Pendekatan sistematis yang mengandalkan rasio disebut pendekatan rasional. Dengan pengertian lain pendekatan rasional ini disebut dengan metode deduktif yang dikenal dengan silogisme Aristoteles, karena dirintis oleh Aristoteles.
Epistemologi berusaha member definisi ilmu pengetahuan, membedakan cabang-cabangnya yang pokok, mengeidentifikasi sumber-sumbernya dan menetapkan batas-batasnya.  “Apa yang kita ketahui dan bagaimana kita mengetahui” adalah masalah-masalah sentral epistemologi, tetapi masalah-masalah ini bukanlah semata-mata masalah-masalah filsafat (Ziauddin Sardar, 1998: 35).  Epistemologi lebih berkaitan dengan filsafat, walaupun objeknya tidak merupakan ilmu yang empirik, justru karena epistemologi menjadi ilmu filsafat sebagai objek penyelidikannya (Abdul Munir Mulkhan hal. 54). Dalam epistemologi terdapat upaya-upaya untuk mendapatkan pengetahuan dan mengembangkannya. aktivitas-aktivitas ini ditempuh melalui perenungan-perenungan secara filosofis dan analitis. Perenungan atau konteplasi yang istilah Arabnya kurang lebih tafakkur yang telah diyakini sebagai ciri khas cara kerja berpikir filosofis. Tidak akan ada filsafat tanpa melalui perenungan-perenungan (konteplasi) itu. Filsafat selalu mengandalkan kontemplasi, baik ketika menelaah wilayah kajian ontology, aksiologi maupun epistemologi, meskipun menggunakan pendekatan lain, seperti analisis konsep atau analisis bahasa. (Mujamil Qomar, 2005: 25-26).
Epistemologi atau teori mengenai ilmu pengetahuan itu adalah inti sentral setiap pandangan dunia. Di dalam konteks islam, ia merupakan parameter yang bisa memetakan, apa yang mugkin dan apa yang tidak mungkin menurut bidang-bidangnya: apa yang mungkin diketahui dan harus diketahui; apa yang mungkin diketahui tetapi lebih baik tidak usah diketahui. Epistemologi dengan demikian bisa dijadikan sebagai penyaring atau filter terhadap objek –objek pengetahuan. Tiddak semua objek mesti dijelajahi oleh pengetahuan manusia. Ada objek-objek tertentu yang tingkat manfaatnya kecil dan madaratnya lebih besar, sehingga tidak perlu diketahui, meskipun memungkinkan diketahui. Ada juga objek yang benar-benar merupakan misteri, sehingga tidak mungkin bisa diketahui. Epistemologi juga menentukan cara berfikir manusia. Seseorang yang senantiasa condong menjelaskan sesuatu dengan bertolak dari teori yang bersifat umum menuju detail-detailnya berarti dia menggunakan pendekatan deduktif.
Bagi Karl R. Ropper epistemologi adalah teori pengetahuan ilmiah.  Sebagai teori ilmiah, epistemologi berfungsi dan bertugas menganalisis secar kritis prosedur yang ditempuh ilmu pengetahuan dan membentuk dirinya. Tetapi, ilmu pengetahuan harus ditangkap dalam pertumbuhannya, sebab ilmu pengetahuan yang berhenti, akan kehilangan kekhasannya. Epistemologi juga membekali daya tarik yang tinggi terhadap konsep-konsep atau teori-teori yang ada.  Dalam filsafat, banyak konsep pemikiran para filosof yang kemudian mendapat serangan yang tajam dari pemikiran filosof lain berdasarkan pendekatan-pendekatan epistemologi. Dalam tradisi pengetahuan ilmiah, adanya perbedaan pemikiran adalah keniscayaan. Perbedaan pemikiran tidak bisa dibendung dan tidak perlu lagi di cegah. Bahkan perbedaan pemikiran dalam persoalan yang sama, sungguh diharapkan terjadi dalam dunia keilmuan, karena itu berarti tradisi pengetahuan ilmiah benar-benarsedang tumbuh.
Perbedaan pemikiran ini di kalangan ilmuwan eksakta tidak terlalu menonjol lantaran fenomena-fenomena alam bersifat homogen. Namun, di kalangan ilmiuwan sosial perbedaan itu bahkan menjadi cirri khasnya. Kontribusi epistimologi terhadap kemajuan ilmu pengetahuan dan selanjutnya pengetahuan dan selanjutnya peradaban itu dapat diperhatikan secara jelas melalui perbandingan segitiga antara wilayah Yunani, Wilayah Islam dan dunia Barat. Ilmu Yunani lebih menitikberatkan pada aspek ontologi yang ingin mengejar kebenaran substantive, sehingga menekankan pada pembahasan yang mendalam pada substansi atau segala sesuatu yang ada, baik dalam kognisi maupun realitas indrawi. Tradisi ini memunculkan pengetahuan-pengetahuan yang bersumber dari metode spekulatif, terutama filsafat; ilmu pengetahuan di Barat lebih menekankan pada proses atau  metode ilmiah yang dilewati sebagai sarana mencapai kebenaran. Adapun pengetahuan di dunia Islam lebih menekankan pada aksiologi. Aksiologi merupakan Weltanschauung yang berfungsi sebagai landasan dalam mengkontruksi fakta. Islam tidak menghendaki keterpisahan antara ilmu dan system nilai, seperti yang terjadi di Barat. Ilmu adalah fungsional ajaran wahyu. Ilmu  merupakan hasil dialog antara ilmuwan dengan ralitas yang diarahkan perkembangannya oleh wahyu Alquran. Islam meletakkan wahyu sebagai paradigm agamawi yang mengakui eksistensi Tuhan, tidak hanya sebatas keyakinan semata, tetapi diterapkan dlam konstruksi ilmu pengetahuan. Dengan demikian, Islam menolak science for science dan menghendaki terlibatnya moralitas dalam pencarian kebenaran ilmu (Noeng Muhajir:105-106).
Perbedaan tekanan ilmu pengetahuan tersebut ternyata sangat berpengaruh pada kualitas kemajuan. Dunia barat yang menekankan pada epistemologi,tampak lebih maju daripada Yunani yang menekankan pada ontology. Letak  permasalahannya dengan begitu bukan pada kegeniusan para pemikirannya, melainkan pada cara pandangn sesuatu. Terhadap perbandingan kasus ini, A. Mukti Ali mengatakan, bahwa aristoteles (384-322 SM) sudah barang tentu jauuh lebih genius daripada Francis Bacon (1561-1626 M), dan Plato (427-347 SM) adalah lebih genius daripada Roger Bacon (1214-1294 M). Namun, mengapa orang-orang genius seperti Plato dan Aristoteles justru menyebabkan kemandegan dan stagnasi di Eropa pada abad-abad pertengahan, sedangkan orang biasa, seperti Bacon mempu membawa kemajuan ilmiah? Sebabnya adalah kedua Bacon itu menemukan kebenaran; sedangkan pemikir-pemikir genius yang besar, apabila tidak  mengetahui metode yang benar dalam melihat sesuatu dan memikirkan masalah-masalahnua, maka mereka tidak dapat memanfaatkan kegeniusannya itu.  (Tim Redaksi Driyakarya)
(Mujamil Qomar, 2005: 33-34) mengatakan Di kalangan di dunia Islam, ilmu pengetahuan kalah pesat perkembangannya disbanding ilmu pengetahuan Barat, sebab pemikir-pemikir Islam lebih menekankan pada aksiologi walaupun dunia Islam pernah menjadi pelopor peradaban. Pemikiran aksiologis ini, mau tidak mau pasti terkait pada aturan –aturan normatif  yang menentukan nilai-nilai dalam kehiduipan manusia. Tradisi model berpikir secara aksiologis ini masih terasa hingga sekarang, sehingga dunia Islam semakin jauh ketinggalan dari kemajuan yang dicapai oleh dunia Barat. Ketertinggalan kemajuan ini lalu berpengaruh negative terhadap perilku umat Islam, terutama yang berkaitan dengan dimensi intelektual atau dinamika keilmuan. Hal inilah yang sekarang menjadi perhatian serius pada pemikir untuk dapat dicatikan solusinya. Ismail Raji’ Al-Faruqi mengajukan alternative pemecahan, bahwa ‘malaise’ (penyakit) umat hanya dapat diobati dengan injeksi epistemologi. (Ismail Raji’ Al-Faruqi, 1984: 11).
Berdasarkan pada manfaat epistemologi dalam mempengaruhi kemajual ilmiah maupun peradaban tersebut, maka epistemologi bukan hanya mungkin, melainkan mutlak perlu dikuasai. Epistemologi membekali seseorang yang menguasainya untuk menjadi produsen, baik dalam bidang ilmu pengetahuan, teknologi, ekonomi, bisnis, maupun secara umum peradaban. Sosok produsen ini memiliki sifat kreatif, dinamis, berusaha menyiasati perubahan zaman dengan cermat. Sebagai produsen dengan dukungan sifat-sifat tersebut, tentu memiliki target untuk bisa memiliki konsumen sebanyak-sebanyaknya,  sebagaimana yang terjadi di dunia bisnis. Dalam dunia intelektual sebenarnya secara substantif tidak jauh berbeda. Para ilmuwan yang aktif, selalu berupaya menggali pengetahuan baru yang senantiasa menjadi referensi bagi masyarakat atau komunitas terpelajar, sehingga teori-teori yang mereka bangun, selalu diikuti oleh komunitas tersebut. Kita bisa memperhatikan bagaimana teori-teori yang dibangun Issac Newton, Albert Einsten,Thomas S. Kuhn dan sebaginya, menjadi panutan komunitas terpelajar, baik mahasiswa, dosen, peneliti, maupun ilmuwan di seluruh dunia. Mereka mampu merumuskan teori-teori ilmiah melalui bekal kemampuan epistemologinya. (Mujamil Qomar, 2005: 34-35)

PEMBAHASAN
Epistemologi Barat
Hashemi Rafsanjani mengemukakan bahwa kontribusi Barat dalam pengembangan sains dan teknologi modern mencapai sekitar 97%, Dunia Islam 1%, sedangkan sisanya 2% oleh dunia lainnya. Pernyataan tersebut dilontarkan ketikan beliau sedang menjabat presiden pada 1990-an. Memang tidak ada Negara yang mendominasi semua jenis teknologi. Amerika dikenal sebagai raja tekonologi di bidang alatalat strategis, Jerman sebagai raja teknologi alat-alat berat, Jepang sebagai raja alat-alat elektro, sedangkan di bidang agronomi rajanya adalah Thailand. Namun, secara global Baratlah yang mendominasi kemajuan sains dan teknologi ini. (Mujamil Qomar, 2005: 41).
“Kunci Rahasia” yang penting diungkapkan adalah bahwa kemajuan Barat itu disebabkan oleh pendekatan sainsnya pada epistemologi. Epistemologi yang dikuasai ilmuwan Barat benar-benar dimanfaatkan untuk mewujudkan temuan-temuan baru dalam sains dan teknologi. Epistemologi yang dikembangkan ilmuwan Barat itu selanjutnya mempengaruhi pemikiran para ilmuwan di seluruh dunia seiring dengan pengenalan dan sosialisasi sains dan teknologi mereka.  Epistemologi itu dijadikan acuan dalam mengembangkan pemikiran para ilmuwan di masing-masing Negara, akhirnya secara praktis mereka terbaratkan; pola pikirnya,pijakan berpikirnya, metode berpikirnya caranya mempersepsi semuanya. Secara sadar atau tidak mereka telah terbelenggu oleh pengaruh mengikat itu. Padahal epistemologi yang semestinya dijadikan sarana penalaran yang bisa mewujudkan dinamika pemikiran, berubah menjadi penyeragaman cara-cara berpikir. seolah-olah hanya ada satu model berpikir yang mesti diikuti. Kondisi semacam ini makin membuktikan, bahwa sesungguhnya sedang terjadi proses imperialisme Epistimologi Barat teradapat pemikiran masyarakat sedunia.
Imperialisme Barat sudah terjadi dan berlangsung sekitar beberapa abad yang lalu. Sebagaimana yang dinukil Amrullah Achmad dalam buku karya Mujamil Qomar, Ziauddin Sardanr mengatakan. Epistemologi Barat yang dipandang oleh para pakar muslim dan non-muslim sebagai epistemologi universal, telah menjadi cara mengetahui dan menyelidiki yang dominan dewasa ini,telah mengesampingkan cara-cara mengetahui dengan alternatef lain. Oleh karena sangat diminannya epistemologi Barat ini, maka masyarakat muslim seluruhnya dan manusia planet bumi ini, sesungguhnya dibentuk image manusia Barat. Ia telah menyebabkan  terjadimya apa yang dinamakan Imperialisme epistemologi. Imperialism ini telah berjalan skitar 300 tahun, sejak kolonialisme Eropa dunia Islam.
Selama ini epistemologi Barat itu selalu dimanfaatkan untuk mempengaruhi dan menanamkan keyakinan secara apriori, bahwa Baratlah sumber pengetahuan, cara-cara berfikir model Baratlah yang bisa diandalkan, dan Barat sebagai pusan metode ilmiah. Meskipun memang harus diakui bahwa Barat memiliki keunggulan sains. Tetapi akan salah pengertian jika mengandalkan segalanya kepada Barat. Karena cara kerja berpikit model Barat sesungguhnya adalah upaya memasung para ilmuwan supaya meyakini sesuatu yang dianggap baku padahal mestinya masih bisa dikembangkan atau bahkan bisa dipertentangkan dengan cara-cara kerja ilmiah model lainnya. Akibatnya para ilmuwan dan pemikir terbelenggu daya kreativitasnya karena hanya mengeharap produk sains Barat, tanpa disertai upaya mencari solusi yang mungkin bisa memberikan jawaban lain yang lebih baik.
“Epistimologi dari peradaban Barat yang telah menjadi cara pemikiran dan penyelidikan (mode of thought and inquiry) yang dominan dewasa ini telah mengesampingkan cara-cara mengetahui alternatif lainnya”(Ziauddin Sardar, 1998: 36). Dengan begitu dominannya epistemologi barat dalam mempengaruhi dan meyakinkan orang terhadap keterandalan cara berfikirnya, metodenya, dalam memperoleh pengetahuan telah menyebabkan para komunitas ilmuwan seperti telah mengkultuskan kebenaran epistemologi barat. Dalam waktu yang bersamaan para ilmuwan dan pemikir tidak lagi mau mempertimbangkan apakah ada epistemologi versi lain yang berfungsi juga sebagai alat efektif dalam memperoleh pengetahuan. Membuat orang banyak yang berfikir bahwa selain epistemologi barat itu rendah kualitasnya, belum teruji keandalannya dalam memberikan jawaban-jawabanya, tentang bagaimana memperoleh pengetahuan yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
Alasan mengapa epistemologi Barat diakui oleh seluruh dunia karena mereka gencar mensosialisasikan secara besar-besaran melalui berbagai media. Selain itu mereka sudah menyiapkan berbagai media untuk memperkenalkan mekanisme kerja epistemologi, hingga diperoleh pengetahuan baru, yaitu buku, jurnal,forum seminar, penayangan layar ditelevisi dan sebagainya. Karena upaya mereka tersebut akhirnya orang Barat mampu membentuk Opini public bahwa epistemologi Barat lah yang harus diakui sebagai cara yang paling benar dalam memperoleh pengetahuan. Kesan seperti itu menjadikanmasyarakat tidak mempercayai ilmuwan-ilmuwan non Barat dalam merumuskan epistemologi. Selain itu mereka akan bersikap tidak percaya terhadap kemampuan mereka sendiri. adapun secara psikologis, perasaan mereka bisa teriringiuntuk mempercayai keunggulan epistemologi Barat. Padahal harusnya para ilmuwan itu percaya pada kemampuan sendiri dan berani mengembangkan dan membuat epistemologi versi mereka sendiri.
Mujamil Qomar menukil pernyataan Ismail Raji’  Al-Faruqi, bahwa kondisi yang seperti ini seharusnya juga bisa terwujud dalam Dunia Islam mengingat negara-negara colonial barat beserta antek-anteknya mengisi kehidupan sehari-hari seorang muslim dengan efek-efek mempromosikan kultur Barat (Ismail Raji’ Al-Faruqi, 1984: 9). Banyak sekali kultur Barat yang mulai tertanam dalam masyarakat muslim, dan masyarakat muslim sendiri telah meninggalkan kultur yang diwariskan dari para pendahulunya. Masyarakat muslim banyak mempraktekkan kultur Barat dalam kehidupan sehari-harinya dengann bangga yang justru membahayakan kehidupan mereka sendiri. ironisnya kultur Barat yang negatif lebih diadaptasi dari pada yang positif. Menurut Hasan Hanafi masyarakat perlu menentang peradaban Barat, sehingga dia mengusulkan “oksidentalisme” sebagai jawaban terhadap “orientalisme” dalam ranka menakhiri mitos peradaban Barat.
Keterjebakannya umat Islam untuk bergantung pada pemikiran Barat itu sampai mereka mengesampingkan pemberdayaan akalnya sendiri. mereka tidak mempunyai upaya seius dalam membentuk dan membangun pengetahuan berdasarkan ijtihadnya. Padahal jika mereka memikirkan pada masa keemasan Islam banyak tokoh-tokoh yang melakukan ijtihad. Harusnya tradisi ijtihad itu dimanfaatkan untuk memberikan spirit kepada mereka dalam menumbuhkan semangat intelektual, sehingga secara produktif mereka mengekspresikan pemikiran-pemikiran segar dan orisinal.
Kini pemikiran Islam sepenuhnya sudah terpinngirkan di zaman Era modern ini, karena pemikiran islam tidak dapat memberikan gagasan yang cerdas terhadap bangunan “fisik” dan khazanah intelektual di dalam wacana ilmu pengetahuan konteporer.
Epistemologi Islam
Epistemologi Islam perlu dijadikan alternative terutama bagi filosof, pemikir dan ilmuwan Muslim untuk menyelamatkan mereka dari keterjebakan ke dalam arus besar di bawah kendali epistemologi Barat.  Karena epistemologi telah menguasai wilayah dunia para ilmuwan Muslim juga mengikkuti bahkan tidak jarang yang mengandalkan epistemologi Barat tanpa koreksi sama sekali, maka secara intelektual sebenarnya umat Islam menjadi terjajah oleh Berat. M. Arkoum melaporkan, “ternyata hingga dewasa ini semua cabang ilmu keislaman boleh dikata mengalami kelumpuhan, stagnasi, tidak ada lagi perkembangan yang berarti, baik ilmu kalam, fiqh, tasawuf, atau ilmu-ilmu tafsir, hadis dan lain-lainnya.
Dari reaitas tersebut seharusnyua umat muslim mencari pemecahan solusi yang statetig agar kondisi ilmu keislaman tidak berlarut tanpa penyelesaian. Kalangan intelektual Muslim yang paling bertanggung jawab mencarikan alternatif penyelesaian. Epistemologi Islam memiliki fungsi yang sangat penting dalam menjaga kehormatan umat  Islam. Epistemologi ini bisa membangkitkan umat Islam untuk segera mencapai kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Namun belakangan ini sudah banyak gerakan Islamisasi ilmu pengetahuan diberbagai belahan dunia yang diperankan oleh intelektual Muslim.  Kejayaan Islam yang diharapkan terwujud kembali hanya menjadi impian belaka tanpa pernah menjadi, bahkan mendekati realitas sama sekali. Malapetaka peradaban ini terjadi karena kaum intelektual Muslim tidak segera sadar dan membangun epistemologi alternative yaitu epistemologi yang dijiwai oleh nilai-nilai ketauhidan (Mujamil Qomar, 2005: 164-166).
Tauhid yang mendasari epistemologi Islam yang hendak dibangun, merupakan salah satu disiplin dasar  yang sangat penting dalam mengembangkan ilmu-ilmu Islam, sebab epistemologi merupakan operator mayor yang mentransformasikan visi tauhid dan visi dunia dalam realita. Upaya mentransformasikan ideal Islam menjadi kenyataan itu semacam ‘manajeman’ dalam proses mengetahui menjadi perbuatan dan perlembagaannya dalam kehidupan (Amrullah Achmad: 120). Dalam prekspektif tauhid Islam bahwa epistemologi Islam dimulai dari premis seluruh pengetahuan adalah milik Allah. Dia yang mengajarkan segala bentuk pengetahuan kepada manusia yaitu Nabi Adam As. Pengajaran Allah kepada Adam tersebut merupakan petunjuk bahwa Allah menghendaki agar manusia mampu menguasai dan mengolah ala mini dengan ilmunya.
Epistemologi Pendidikan Islam
Pendidikan Islam harus didekatkan pada epistemologi untuk mewujudkan, apa yang disebut epistemologi pendidikan Islam. Upaya penggalian, penemuan dan pengembangan pendidikan Islam bisa efektif dan efisien, bila didasarkan pada epistemologi pendidikan Islam. Epistemologi pendidikan Islam, menuntut segera dibangun oleh para pemikir Islam.  Karena sangat berfungsi untuk mengembangkan pendidikan secara konseptual dan aplikatif. Selain itu paling tidak mengurangi epistemologi Barat yang sudah banyak mempengaruhi pendidikan Islam.
Menurut Amirullah Achmad Filsafat pendidikan yang diberikan pada departemen kependidikan Islam sepenuhnya filsafat pendidikan Barat yang mulai digugat sebagian besar pakar kita. Sedangkan kajian filsafat Islam sudah hampir putus dari nilai dan wawasan Islam, sehingga perlu segera diperbaiki dan ditekankan kembali pada kajian filsafat Islam, sebab pada sisi inilah yang justru menjadi sumber krisis di dunia Muslim dan yang paling sedikit dikaji pada unversitas Islam selama ini atau bahkan ditinggalkan sama sekali (Mujamil Qomar, 2005: 209). Mujamil  Qomar dalam bukunya mengatakan bahwa Filsafat pendidikan yang diajarkan kepada mahasiswa jurusan pendidikan Islam adalah filsafat Barat,  maka pendidikan yang dikembangkan umat Islam adalah pendidikan yang berpola Barat. Selain itu M. Rusli Karim menegaskan, “Pendidikan Islam di beberapa Negara Islam yang mayoritas penduduknya beragama Islam tidak lebih dari duplikasi dari pendidikan di negara-negara Barat sekuler yang banyak mereka cela. Dengan demikian, produk system pendidikan mereka tidak mungkin menjadi atau berupa alternatif” (M. Rusli Karim,1991: 37).
Pendidikan Barat yang diadaptasi oleh pendidikan Islam, meskipun mencapai kemajuan, tetap tidak layak dijadikan sebagai sebuah model untuk memajukan peradaban Islam yang damai, anggun, dan ramah terhadao kehidupan manusia.  Pendidikan barat itu hanya maju lahiriah, tetapi rohaninya tidak karena pendidikan tersebut hanya berorientasi pada pengembangan yang bersifat kuantitatif. Jadi ukuran hasil pendidikan itu dilihat dari seberapa jauh pengetahuan yang diserap peserta didik, bukan peserta didiknya itu bertindak sesuai ilmunya.
Di Barat ilmu pengetahuan hanya berdasar pada akal dan indera, sehingga ilmu pengetahuan itu hanya mencakup hal-hal yang dapat diindera dan dinalar semata.  Namun, karaktek pendidikan Barat tampaknya telah mengilhami pendidikan yang dikembangkan di dunia Islam. Banyak orang Islam yang bangga menetapkan model Barat, bahkan sikap peniruan untuk mendapatkan pengakuan sebagai  telah mengikuti perkembangan pendidikan yang paling modern. Pengaruh pendidikan karakter Barat itu memasuki hampir semua pendidikan di kalangan Muslim. Kini banyak dari penerapan pendidikan di dunia Islam telah terlanjur mengikuti pola dan model pendidikan yang dikembangkan Barat dengan alasan mencapai kemajuan seperti di Barat, tetapi kenyataannya sangat berlawanan dengan harapan. Hasil pendidikan yang dicapai tetap tidak mampu memobilisasi perkembangan peradaban Islam.
Kenyataan yang menimbulkan problem dilematis ini pernah diungkap oleh Ismqil Raji’ Al-faruqi bahwa materi dan metodologi yang kini diajarkan di dunia Islam adalah jiplakan dari materi dan metodologi Barat, namun tak mengandung wawasan yang selama ini menghidupkan negeri Barat. Selain itu kondisi riil di masyarakat ini tumbuh karena pengaruh pendidikan modern Barat yang dikembangkan berdasarkan kebutuhan ekonomu. Semakin besar pengaruh pendidikan Barat untuk menguasai, mewarnai dan mengendalikan pendidikan  Islam sesuai dengan selera, kecenderungan, tradisi, budaya dan paradigma kehidupan orang-orang barat yang sekuler. Ini sekaligus menunjukkan bahwa pendidikan Islam tidak berdaya memberikan pembekalan terhadap potensi umat Islam dalam mengembangkan peradaban mereka yang dicita-citakan.
Pengaruh lain dari pendidikan Barat terhadap pendidikan Islam adalah wujudnya dikotomi pendidikan di kalangan Muslim. Pendidikan Islam sebagai warisan periode klasik akhir, tidak lagi ditegakkan atas fondasi intelektual spiritual yang kokoh dan anggun. Diterimanya prinsip dikotomik antara ilmu agama dan ilmu umum, adalah salah satu indikasi rapuhnya dasar filosofis pendidikan Islam (Ahmad Syafi’i Ma’arif, 1991: 18). Dikotomi itu menimbulkan kesan, bahwa pendidikan agama berjalan tanpa dukungan ilmu pengetahuan dan teknologi, sebaliknya  pendidikan umum hadir tanpa sentuhan agama. Sistem pendidikan yang dikotomik tersebut sekaligus menyebabkan lahirnya system pendidikan umat Islam yang sekuleristik, rasionalistik-empirik, intuitif, dan materialistic. Keadaan ini tidak mendukung tata kehidupan umat yang mampu melahirkan peraadaban Islami (Amrullah Achmad).
Kemudian Mujamil merinci dikotomi pendidikan itu secara sambung menyambung menyebabkan:
1.      Kegagalan merumuskan Tauhid dan bertauhid
2.      Lahirnya syirik yang berakibat adanya dikotomi fitrah Islam
3.      Adanya dikotomi kurikulum
4.      Terjadinya dikotomi dalam proses pencapaian tujuan pendidikan
5.      Adanya dikotomi lulusan pendidikan dalam bentuk split personality ganda dalam arti kemusyikan, kemunafikan yang melembaga dalam system keyakinan, system pemikiran, sikap, cita-cita dan perilaku yang sering disebut sekulerisme
6.      Rusaknya system pengelolaan lembaga pendidikan
7.      Lembaga pendidikan melahirkan manusia yang berkepribadian ganda, yang justru menimbulkan dan memperkokoh sistm kehidupan umat yang sekuleristik, rasionalistik-empiristik-intuitif dan materialistik
8.      Lahirnya Barat sekuler yang dipoles dengan nama Islam
9.      Lahirnya da’i yang berusaha merealisasikan Islam dalam bentukna yang memisahkan kehidupan sosial-politik-ekonomi ilmu pengetahuan-teknologi dengan ajaran Islam saja, agama urusan akhirat dan ilmu-teknologi untuk urusan dunia.
Pengaruh pendidikan Barat terhadap pendidikan yang berkembang di hampir semua Negara ternyata sangat kuat. Pengaruh ini juga menembus pendidikan Islam, sehingga system pendidikan Islam mengalami banyak kelemahan. Untuk mengatasi kelemahan-kelemahan tersebut, para pakar pendidikan Islam dan para pengambil kebijakan dalam pendidikanislam harus mengadakan pembaruan-pembaruan secra komprehensif agar terwujud pendidikan Islam ideal yang mencakup berbagai dimensi.
Epistemologi pendidikan Islam, meliputipembahasan yang berkaitan dengan seluk beluk pengetahuan pendidikan Islam mulai dari hakekat pendidikan Islam, asal-usul pendidikan Islam, sumber-sumber pendidikan Islam, metode membangun pendidikan Islam, unsus pendidikan Islam, sasaran pendidikan Islam, macam-macam pendidikan Islam dan sebagainya. Dalam tulisan ini akan lebih mengarahkan pada metode atau pendekatan yang dapat dipakai membangun pendidikan Islam, daripada komponen-komponen lainnya, karena komponen-komponen tersebut paling dekat dengan upaya mengembangkan pendidikan Islam, baik secara konseptual maupun aplikatif.
Metode Epistemologi Pendidikan Islam
Metode merupakan bagian integral dan epistemologi, karena epistemologi mencakup banyak pembahasan termasuk metode. Metode epistemologi pendidikan Islam adalah sebagai metode-metode yang dipakai dalam menggali, menyusun dan mengembangkan pendidikan Islam. Dengan kata lain, adalah metode-metode yang dipkai dalam membangun ilmu pendidikan Islam. Metode epistemologi pendidikan Islam adalah metode-metode dalam epistemologi pendidikan Islam atau metode yang digunakan untuk memperoleh pengetahuan tentang pendidikan Islam. Ada perbedaan antara metode epistemologi pendidikan Islam dengan metode penelitian pendidikan Islam. Metode epistemologi Islam lebih berada pada tataran pemikiran filosofis, sedangkan metode penelitian pendidikan Islam berada pada tataran teknis dan operasional. Metode epistemologi pendidikan Islam merupakan alat filsafat yang membahas pengetahuan pendidikan Islam. Metode epistemologi pendidikan Islam berusaha membangun, merumuskan dan memproses pengetahuan tentang pendidikan Islam.
Menurut Mujamil Qomar dari perenungan-perenungan terhadap ayat-ayat Al-Quran, Hadits Nabi dan penalaran sendiri, untuk sementara didapatkan lima macam metode yang secara efektif untuk membangun pengetahuan tentang pendidikan Islam, yaitu:
A.      Metode Rasional (Manhaj ‘Aqli)
Metode Rasional adalah metode yang dipakai untuk memperoleh pengetahuan dengan menggunakan pertimbangan-pertimbangan atau kriteria-kriteria kebenaran yang bisa diterima rasio. Menurut metode ini sesuatu dianggap benar apabila bisa diterima oleh akal, seperti sepuluh lebih banyak dari lima. Tidak ada orang yang mampu menolak kebenaran ini berdasarkan penggunaan akal sehatnya, karena secara rasional sepuluh lebih banyak dari lima.
Metode ini dipakai dalam mencapai pengetahuan pendidikan Islam, terutama yang bersifat apriori. Akal member penjelasan-penjelasan yang logis terhadap suatu masalah,sedangkan indera membuktikan penjelasan-penjelasan itu. Penggunaan akal untuk mencapai pengetahuan termasuk pengetahuan pendidikan Islam mendapat pembenaran agama Islam. Filosof muslim berpandangan, bahwa sebagian naṣ syariat mengandung makna ẓahir untuk kalangan umum dan makna batin –filosofis bagi kalangan khusus. Makna yang kedua ini diwujudkan melalui ta’wil bagi ahlinya. Ini berarti Al-Quran dan Hadits benar-benar mengandung segi-segi pemikiran-pemikiran filosofis dan mewajibkan untuk mengeluarkan pemikiran-pemikiran ini bagi orang yang mampu dan ahlinya.
Machfudz Ibawi berani menegaskan, bahwa bahasa Al-Quran seluruhnya bersifat filosofis, dengan pengertian tidak mudah dimengerti tanpa mencari, menganalisis atau menggali sesuatu yang tersimpan dibalik bahasa harfiah. Oleh karena itu dibutuhkan pemikiran yang makin rasional dan logis sebagai media atau alat untuk mendapatkan pengetahuan dan pemahaman terhadap kandungan Al-Quran sebagai cermin dari  ajaran Islam.
Teori-teori yang diformulasikan oleh ilmuwan-ilmuwan Islam tidak banyak dipakai sebagai landasan dalam membahas masing-masing disiplin ilmu karena masih kalah oleh teori barat. Bahkan yang paling berbahaya secara intelektual adalah bahwa teori-teori barat telah dianggap baku dan disakralkan karena tidak pernah digugat. Teori-teori pendidikan Islam yang dirumuskan pemikir-pemikir Islam zaman dahulu juga menjadi sasaran pencermatan kembali dengan menggunakan metode rasional. Harusnya metode rasional telah lama menjadi pegangan para filosof pendidikan Islam dalam merumuskan teori. Namun, dalam kenyataan belum banyak ahli filsafat pendidikan Islam yang memanfaatkan metode rasional ini. Pendidikan Islam selama ini secara sinis masih dianggap meniru pendidikan Barat. Jika diperhatikan landasan pendidikan Islam itu berupa Quran dan Sunnah, dan seharusnya tidak ada lagi peniruan. Mekanisme kerja metode rasional yang kesekian kali dalam mencapai pengetahuan pendidikan Islam dilakukan dengan cara mengembangkan objek pembahasan. Sebenarnya melalui metode rasional saja dapat diperoleh khazanah pengetahuan pendidikan Isla dalam jumlah yang amat besar.
B.       Metode Intuitif (Manhaj Zawqi)
Metode intuitif merupakan metode yang khas bagi ilmuan yang menjadikan tradisi ilmiah Barat sebagai landasan berfikir mengingat metode tersebut tidak pernah diperlukan dalam pengembangan ilmu pengetahuan. Sebaliknya dikalangan Muslim seakan-akan ada kesepakatan untuk menyetujui intuisi sebagai satu metode yang sah dalam mengembangkan pengetahuan, sehingga mereka telah terbiasa menggunakan metode ini dalam menangap penembangan pengetahuan. Ada beberapa istilah yang dipakai untuk menyebut intuisi itu. Muhammad Iqbal  menyebut intuisi ini dengan peristilahan “cinta” atau kadang-kadang disebut pengalaman kalbu.
Dalam pendidikan Islam, pengetahuan intuitif ditempatkan pada posisi yang layak. Pendidikan Islam sekarang menjadikan manusia sebagai objek material, sedang objek formalnya adalah kemampuan manusia. Pendidikan Islam sebenarnya secara spesifik terfokus untuk mempelajari kemampuan manusia itu, baik berdasarkan wahyu, pemberdayaan akal maupun pengamatan langsung. Di kalangan pemikir Islam, intuisi tidak hanya disederajatkan dengan akal maupun indera, tetapi bahkan lebih diistimewakan daripada keduanya.  Bagi Al-Gazhali, bahwa al-zawaq (intuisi) lebih tinggi dan lebih dipercaya, daripada akal untuk menangkap pengetahuanyang betul-betul diyakini kebenarannya. Sumber pengetahuan tersebut dinamakan al-nubuwwat, yang pada nabi-nabi berbentuk wahyu dan pada manusia biasa berbentuk Ilham (Hasyimsyah Nasution, 1999: 81).
Sebagai suatu metode epistemologi, intuisi itu bersifat netral.  Artinya ia bisa dimanfaatkan untuk mendapatkan berbagai macam pengetahuan. Intuisi dalam pengertian kemampuan mencapai kesimpulan secara tepat tanpa melalui langkah-langkah logika satu demi satu (al-hads), maupun dalam pengertian pengalaman mencerahkan (al-wjdan), adalah sampainya daripada makna, atau sampainya makna pada diri, baik itu diperoleh melalui pembuktian, seperti dalam hal pertama al-hads, atau datang dengan sendirinya dalamhal yang kedua al-wijdan. Hakekat intuisi menurut Al-Tahawuny, bisa bertambah dan berkurang. Bila kita mengamati pengalaman kita sehari-hari tampaknya ada perbedaan frekuensi intuisi muncul dalam rentang waktu tertentu. Adakalanya dalam waktu yang berututan muncul beberapa kali, tetapi terkadang dalam waktu yang lama juga tidak kunjung tiba.
Akal adalah suatu substansi ruhaniah yang melihat pemahaman yang kita sebut hati atau kalbu, yang merupakan tempat terjadinya intuisi. Penggunaan akal dan intuisi secara integral dapat memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap pengembangan metode-metode yang dipakai menggali pengetahuan. Metode interpretasi misalnya, ia diyakini akan tumbuh dan berkembang melalui pemanfaatkan metode-metode yang menggunakan akal dan intuisi. Intuisi itu bisa didatangkan untuk memberikan pencerhan konsentrasi, kontemplasi, dan imajinasi. Sebaiknya kita memiliki tradisi ketiganya ini dalam mengembangkan atau menyusun konsep pendidikan Islam yang bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah di hadapan kriteria ilmu pengetahuan dan secara normatif di hadapan wahyu.
C.       Metode Dialogis (Manhaj Jadali)
Metode dialogis yang dimaksudkann di sini adalah upaya menggali pengetahaun pendidikan Islam yang dilakukan melalui karya tulis yang disajikan dalam bentuk percakapan antara dua orang ahli atau lebih berdasarkan argumentasi-argumentasi yang bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Metode ini memiliki sandaran teologis yang jelas. Upaya untuk mecari jawaban-jawaban adalah aktivitasyang saha menurut Islam maupun ilmu pengetahuan. Peristiwa sebagai wujud dialog telah dikemukakkan dalam Al-Quran. Menurut Mohammad Anwar, “Banyak ayat dalam Al-Quran memulai dengan kata-kata yasaluunaka (mereka bertanya)”. Ada sebanyak 15 kali kata ini dipergunakan dalam Al-Quran. Kata tersebut disambugn dengan objek pertanyaan, kemudian diikuti kata qul (katakanlah) baru materi jawaban kecuali pada An-Naziat ayat 42. Ternyata pada ayat ini setelah dicermati mengandung rahasia tertentu, bahwa orang-orang kafir bertanya kepada Muhammad tentang hari berbangkit bukan semata-mata ingin mendapatkan jawaban yang pasti, melainkan sebagai ejekan.
Pendidikan Islam perlu didialogkan dengan nalar kita untuk memperolah jawaban-jawaban yang signifikan dalam mengembangkan pendidikan Islam tersebut. Nalar itu akan memiliki daya analisis yang tajam manakala menghadapi tantangan-tantangan. Ilmu pendidikan Islam harus bertumpu pada gagasan-gagasan yang dialogis dengan pengalaan empiris yang terdiri atas fakta atau informasi  untuk diolah menjadi teori yang valid yang menjadi tempat berpijaknya suatu pengetahuan  ilmiah. Untuk menerapkan metode ini, dapat disiapkan wdahnya dengan beberapa cara, misalnya dengan menetapkan pasangan dialog, membentuk forum dialog, mempertemukan dua forum dialog, maupun dengan mengundang pakar-pakar pendidikan Islam, apabila difungsikan secara maksimal. wadah-wadah dialog itu hanya berbeda skalanya saja, sedang misi dan fungsinya relative sama. Semuanya sebagai wadah untuk menggali pengetahuan pendidikan Islam dari Al-Quran, hadits dan praktek-praktek pendidikan Islam, kemudian dirumuskan dalam teori-teori ilmiah tentang pendidikan Islam.
Metode dialogis dalam epistemologi pendidikan Islam ini bisa mengambil bermacam-macam objek; ketentuan-ketentuan wahyu, baik yang terdapat pada Al-Quran maupun hadits yang disebut dengan konsep-konsep Normatif, pendapat-pendapat para pakar pendidikan  Islam, baik pada masa lampau maupun sekarang yang disebut konsep-konsep teoritis, dan pengamatan terhadap pengalaman-pengalaman melaksanakan pendidikan bagi kaum Muslim, baik dahulu maupun sekarang yang bisa disebut “konsep-konsep empiris”. Semua Objek itu ada dalam bingkai keislaman karena Islam terbagi menjadi dua, yaitu Islam dalam arti wahyu dan Islam dalam arti budaya. Islam wahyu berupa Al-Quran dan hadis sedang Isla budaya berupa pemikiran, pengalaman, maupun tradisi umat Islam.
D.      Metode Komparatif (Manhaj Maqaran)
Metode komparatif adalah metode memperoleh pengetahuan (dalam hal ini pengetahuan pendidikan Islam, baik sesama pendidikan Islam maupun pendidikan Islam dengan pendidikan lainnya. Metode ini ditempuh untukmencari keunggulan-keunggulan maupun memadukan pengertian atau pemahaman, supaya didapatkan ketegasan maksud dari permasalahan pendidikan. Maka metode komparatif ini masih bisa dibedakan dengan pendidikan perbandingan.
Metode komparatif sebagai salah satu metode epistemologi pendidikan Islam objek yang beragam untuk diperbandingkan, yaitu meliputi: perbandingan sesame Ayat Al-Quran tentang pendidikan, antara ayat-ayat pendidikan dengan hadits-hadits pendidikan, antara sesame hadits pendidikan, antara sesama teori dari pemikir pendidikan, antara sesama teori dari pakar pendidikan Islam dan non Islam, antara sesama lembaga pendidikan Islam, antara sesama lembaga pendidikan Islam dengan lembaga pendidikan non Islam, antara sesama sejarah umat Islam dahulu dan sekarang.
Metode komparatif ini selain sebagai metode epistemologi juga pada tahap operasionalnya menjadi salah satu metode penelitian dan memiliki objek yang luas. Dalam penelitian filsafat, menurut J. Collins perbandingan itu dapat diadakan di antara tokoh atau naskah, system atau konsep, antara dua hal/pribadi atau lebih banyak, antara yang serupa atau berbeda sekali. Dari segi mekanisme kerja metode komparatif dipublikasikan melalui langkah-langkah kerja secara bertahap sebagai berikut: Pertama, menelusuri permasalahan-permasalahan yang setara tingkat dan jenisnya; kedua, mempertemukan dua atau lebih permasalahannya yang setara; ketiga, mengungkapkan ciri-ciri dari objek yang sedang dibandingkan secara jelas dan terinci; keempat, mengungkapkan hasil perbandingan; kelima, menyusun atau memformulasikan teori-teori yang bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah (logis dan objektif).
E.       Metode Kritik (Manhaj Naqdi)
Metode kritik yaitu sebagai usaha untuk menggali pengetahuan tentang pendidikan Islam dnegan cara mengoreksi kelemahan-kelemahan suatu konsep atau aplikasi pendidikan, kemudian menawarkan solusi sebagai altrnatif pemecahannya. Jadi maksudnya kritik bukan karena adanya kebencian, melainkan karena adanya kejanggalan-kejanggalan atau kelemahan-kelemahan yang harus diluruskan.
Sebenarnya kritik adalah metode kita yang sudah ada sejak dulum dari ilmu kalam, fiqh, sejarah Islam maupun hadits. Namun sayangnya sekarang jarang sekali kalangan Muslim yang berpijak pada metode kritik ketika mengungkapkan gagasan-gagasannya. Salah satau pemikir muslim yang karya-karyanya bernuansa kritik adalah Muhammad Arkoun. Beliau mengkritik bangunan epistemologi keilmuan agam Islam. Sebenarnya kritik itu berkonotasi dalam makna upaya membangun, tidak seperti yang kita pahami selama ini bahwa kritik adalah penghinaan. Dan itu berakibat umat muslim merasa tidak suka terhadap kritik. Dengan menggunakan metode kritik dapat mengkritik teori barat yang tidak sepaham dengan nas-nas wahyu yang berkaitan dengan pendidikan Islam.
SIMPULAN
Epistemologi Barat yang sudah banyak digunakan di pendidikan Indonesia, memang sulita untuk dihilangkan, apalagi untuk mengganti dengan epistemologi Islam. Dalam dunia pendidikan Islam saat ini juga menggunakan Epistemologi Barat, yang dianggap modern. Padahal cara-cara barat tidaklah menghasilkan sesuatu yang baik. Pemikiran barat mengedepankan seberapa jauh para peserta didik mampu menyerap ilmu yang dia dapat bukan memperhatikan apakah tumbuh kesdaran dari peserta didik itu untuk bertindak sesuai dengan pengetahuan yang dikuasainya. Seharusnya pendidikan Islam melakukan pembaruan supaya lebih memperhatikan Akhlak peserta didiknya, bukan hanya pada kepandaian menyerap ilmunya. Saat ini para pemikir sedang melakukan islamisasi ilmu pengetahuan, meskipun tidak semua ilmu itu dapat dilakukan islamisasi. Metode epistemologi pendidikan harusnya dilakukan berdasarkan nas-nas wahyu yang bersandar pada Al-Quran dan hadits. Adapun metode epistemologi yang harus digunakan oleh para pemikir muslim. Pertama, metode rasionalis yaitu yang bertumpu pada akal manusia. Kedua, metode intuitif yaitu yang bertumpu pada rasa dan intuisi terhadap pengetahuan. Ketiga, metode dialogis atau seperti Tanya jawab. metode ini sudah ada pada Al-Quran yang perlu dicontoh oleh para pemikir Muslim dalam pendidikan Islam. Keempat, metode komparatif atau seperti perbandingan. Dengan metode ini dapat membandingkan dengan yang lainnya. Kelima, metode kritik, metode ini sudah lama digunakan oleh para pemikir islam terdahulu, apalagi dalam ilmu kalam, fiqh, sejarah dan hadits juga ada yang namanya kritik dari metode kritik harusnya para pemikir islam bisa mengkritik teori-teori barat. Namun, sayang sekali para pemikir pendidikan islam yang tidak melakukan kritik terhadap teori-teori Barat, malahan mereka membenarkan teori-teori tersebut tanpa mau mengembangkannya kembali.



DAFTAR PUSTAKA
Al-Faruqi, Ismail Raji. 1984. Islamisasi Pengetahuan, terj. Anas Mahyuddin. Bandung: Pustaka Setia.
Barnadib, Iman. 1976. Filsafat Pendidikan (Sistem dan Metode). Yogyakarta: Yayasan Penerbit Fakultas Ilmu Pendidikan.
Ihsan,  Fuad. 2010. Filsafat Ilmu. Jakarta: Rineka Cipta.
Muhajir, Noeng. 2000. Landasan Metodologi Psikologi Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Qomar, Mujamil. 2005. Epistemologi Pendidikan Islam dari Metode Rasional hingga Metode Kritik. Jakarta: Erlangga.
Sardar, Ziauddin. 1998. Jihad Intelektual Merumuskan Parameter-parameter Sains Islam. Surabaya: Risalah Gusti.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar